PENGERTIAN IJTIHAD, SYARA-SYARAT MUJTAHID, TINGKATAN MUJTAHID,
LAPANGAN IJTIHAD, METODE IJTIHAD DAN HUKUM BERIJTIHAD
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh yang
diampu oleh : Dosen Moch. Cholid Wardi, M.H.I.
Ulfa
Sakiyah
Yuliatin
Yuni Indriani
Zakiyatul
masrurah
Nurun Najwa
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) MADURA PAMEKASAN 2018
KATA PENGANTAR
السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan rahmat dan taufiknya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas ini. Makalah ini kami susun berdasarkan mata
kuliah Ushul Fiqh yang berjudul “Pengertian ijtihad, Syarat-syarat mujtahid,
Tingkatan mujtahid, Lapangan ijtihad, Metode ijtihad, dan Hukum ijtihad.
Demikian tugas makalah ini kami susun dengan harapan semoga
bermanfaat bagi kami dan para pembaca. Semoga dapat memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqh. Tidak ada karya yang sempurna dengan segala kerendahan hati saran
dan kritik kami harapkan dari para pembaca guna meningkatkan kualits berfikir
dalm penyusunan makalah sehingga menghasilkan karya tulis yang sesuai yang
diharapkan.
Pamekasan , 21
April 2018
Kelompok 7
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A.
Latar
Belakang..................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................ 1
C.
Tujuan
Masalah.................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 3
A.
Pengertian
Ijtihad................................................................. 3
B.
Hukum
Berijtihad................................................................. 5
C.
Dasar
Hukum Ijtihad............................................................ 7
D.
Macam-Macam
ijtihad.......................................................... 8
E.
Syarat-syarat
Mujtahid......................................................... 9
F.
Tingkatan
Mujtahid.............................................................. 10
G.
Lapangan
Ijtihad (Majal al-Ijtihad)...................................... 12
H.
Metode
Ijtihad..................................................................... 13
BAB III PENUTUP............................................................................... 15
A.
Kesimpulan........................................................................... 15
B.
Saran..................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengingat pentingnya
dalam syariat islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Assunnah, secara
komprehensif karena memerlukan
penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu, diperlukan penyelesaian secra sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash
itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam
sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh dalam berdoa.
Ijtihad tidak membatasi bidang fikih
saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun
dasar hukum itu sendiri adalah A-Quran dan Assunnah. Maka dari itu, karena
banyak persoalan di atas, kita sebagai umat islam dituntut untuk keluar dari
kemelut itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa Pengertian ijtihad?
b.
Bagaimana
Hukumberijtihad?
c.
Apa Dasar hukum
ijtihad?
d.
Apa saja Macam-macam
ijtihad?
e.
Apa saja Syarat-syarat
mujtahid?
f.
Apa saja Tingkatan
mujtahid?
g.
Apa saja Lapangan
ijtihad ?
h.
Apa saja Metode
ijtihad?
C.
Tujuan Masalah
a.
Untuk mengetahui Pengertian ijtihad
b.
Untuk mengetahui
Bagaimana Hukumberijtihad
c.
Untuk mengetahui Dasar hukum ijtihad
d.
Untuk mengetahui Apa
saja Macam-macam ijtihad
e.
Untuk mengetahui Apa
saja Syarat-syarat mujtahid
f.
Untuk mengetahuiApa
saja Tingkatan mujtahid
g.
Untuk mengetahui Apa
saja Lapangan ijtihad
h.
Untuk mengetahui Apa
saja Metode ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihad
ijtihad ((الإجتهاد dari segi bahasa berasal dari kata jahada (جهد)yang
berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata
“ijtihad” dipakai mengikuti wazan ifti’al (افتعال)
yang berarti “bersangatan dalam pekerjaan” (مبالغة في
الفعل).
Oleh sebab itu, kata “ijtihad” berarti mencurahkan segala kemampuan dalam
segala perbuatan. Dengan demikian, kata “jihad” (جهاد) dan “ijtihad” (إجتهاد) berasal dari kata yang sama. Hanya saja,
kata “ijtihad” bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata
“jihad” bergerak dalm ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang
lebih luas.[1]
Ulama ushuliyyin mengartikan ijtihad
adalah mencurahkan segala kemampuan dari seorang mujtahid dalam mendapatkan
kepastian bagi suatu masalah yang dimaksud.[2]
Pada prinsipnya, ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan. Oleh sebab
itu, ijtihad merupakan kerja akal yang memperoleh bimbingan syara’ sehingga
hasil ijtihad itu merupakan bagian dari hasil kerja akal manusia.[3]
Ijtihad menurut istilah, banyak rumusan
yang diberikan mengenai definisi “ijtihad”, tetapi satu sama lainnya tidak
mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan kelihatan saling menguatkan dan
menyempurnakan. Diantara definisi tersebut adalah:
1.
Imam
al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fubuli memberikan definisi:
بَذْلُ اْلوُسْعِ فِي نَيْلِ
حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيٍّ بِطَرِقِ اْلاِسْتِنْباَطِ
Mengerahkan kemampuan dalam
memperoleh hukum syar”i yang bersifat amali melalui cara istinbath.
Dalam
definisi ini digunakan kata bazlu al-was”i untuk menjelaskan bahwa
ijtihad itu dalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini
berarti bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak
bersugguh-sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad.
Penggunaan
kata syar”i mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad
adalah hukum syar”i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia.
Sebagai fasal (kata pemisah) dalam definisi itu, kata syar”i ini
mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha menemukan sesuatu yang bersifat
aqli, lughawi, dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk menemukan yang
demikian tidak disebut ijtihad.
2.
Ibnu
Subki memberikan definisi sebagai berikut:
اِاِسْتِفْرَاغُ اْلفَقِيْهِ
اْلوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنِّ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
Pengerahan kemampuan seorang
faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.
Dibandingkan dengan definisi al-Syaukani, Ibnu Subki
menambahkan lafadz al-faqih sesudah kata bazlu dan kata zhan sebelum
kata hukum syar’i.
Dengan
penambahan kata faqih, mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan
dalam ijtihad itu bukanlah sembarang orang, tetapi orang yang telah mencapai
derajat tertentu yang disebut faqih, karena hanya orang faqih-lah yang
dapat berbuat demikian. Usaha yang dilakukan orang awam yang tidak mempunyai
pengetahuan tentang fiqih bukan ijtihad.
3.
Saifuddin
al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi sebelumnya
dengan penambahan kata:
بِحَيْثُ يَحْشَ مِنَ النَّفْسِ
الْعَجْزِ عَنِ الْمَزِيْدِ فِيْهِ
Dalam bentuk yang dirinya
merasa tidak mampu dibuat lebih dari pada itu.
Definisi al-Amidi itu selengkapnya adalah:
اِاِسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ
طَلِبِ الظِّنِّ بِشَيْئٍ مِنَ اْلاَحْكَمِ الشَّرْعِيَّةِ بِحَيْثُ يَححْسَ مِنَ
النَّفْسِ اْلعَجْزِ عَنِ اْلمَزِيْدِ فِيْهِ
Pengerahan kemampuan dalam
memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang
dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.
Penambahan fasal
dalam definisi al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa pengerahan kemampuan
tersebut dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, pengerahan kemampuan
secara sembrono, asal-asalan atau sekadarnya saja, tidak dinamakan ijtihad.
Dari
meneganalisis ketiga definisi diatas dan membandingkannya dapat diambil hakikat
dari ijtihad itu sebagai berikut:
a.
Ijtihad
adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
b.
Usaha
ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu dibidang
keilmuan yang disebut faqih.
c.
Produk
atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang
hukum syara’ yang bersifat amaliah.
d.
Usaha
ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath.[4]
B.
Hukum
Berijtihad
Yang dimaksud
dengan hukum berijtihad di sini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad,
baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadh’i. Karena yang
berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih
(sebagaimana disebutkan dalam definisi diatas), maka mahkum ‘alaih-nya
(subjek atau orang yang dikenai oleh hukum) disini adalah orang yang faqih.
Secara umum,
hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seoarang mujtahid wajib melakukan
ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yanag syara’
sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang
kewajiban untuk berjtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam Al-Quran:
1.
Surah
al-Hasyr (59):2:
فَاعْتَبِرُوْا يَاأُوْلِى
اْلأبْصَارِ
Maka
ambil ihtibarlah hai orang-orang yang puya pandangan.
Dalam ayat
ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk
mengambil ihtibar atau pertimbangan dalam berpikir. Perintah unutk mengambil
ihtibar ini sesudah Allah menjelaskan mala petaka yang menimpa Ahli Kitab
(Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Seorang faqih akan
dapat mengambil kesimpulan dari ibarat Allah tersebut bahwa kaum manapun akan
mengalami akaibat yang sama bila mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang
dijelaskan dalam ayat ini. Cara mengambil ihtibar ini merupakan salah satu
bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil ikhtibar
berarti Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya
adalah untuk wajib.
2.
Surah
an-Nisa’ (4):59:
فَإِنْتَبنَازعْتُمْ فِي شَيْئٍ
فَرُدُّوْهُ اِلَى اللَّهِ وَالرَّسُوْلِ..............
Maka
jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul........
Allah
menyuruh mengembalikan sesuatu yang di perselisihkan kepada Allah dan Rasul.
Yang diperselisihkan itu biasanya sesuatu yang ditetapkan Allah secara jelas
dan tegas dalam firman-Nya. Sedangkan perintah mengembalikannya kepada Allah
dan Rasul berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah di tetapkan
oleh Allah dalam Al-Qur’an atau yang ditetapkan Rasul dalam sunnah. Cara
seperti ini disebut qiyas (القياس). Sedangkan
qiyas itu merupakan salah satu bentuk ijtihad. Karena itu, suruhan
(perintah) Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul ini berarti
suruhan untuk berijtihad dan setiap suruhan itu pada dasarnya adalah untuk
wajib.
Bila
seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku,
sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan
ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus
tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut
adalah wajib ‘ain.
Bila
seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku,
sedangkan ia hanya satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak
khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada
beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad, maka hukum berijtihad
bagi faqih tersebut adalah wajib kifayah. Hal ini berarti bahwa
bila untuk menetapkan hukum suatu kasus tersebut telah ada seorang faqihyang
tampil untuk berijtihad, maka faqih yang lain bebas dari kewajiban
berijtihad. Namun bila tidak ada seorang faqih pun yang berijtihad,
sehingga hukumnya luput, maka semua faqih yang ada disitu berdosa, karna
meninggalkan kewajiban kifayah.
Bila
keadaan yang ditanyakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara
praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi
timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad dalam hal ini hukumnya adalah sunat;
artinya tidak berdosa faqih tersebut bila tidak melakukan ijtihad, namun
jika ia berijtihad akan lebih baik.
Berijtihad
itu hukumnya haram untuk kasus yag telah ada hukumnya yang ditetapkan
berdasarkan dalil yang sharih dan qath’i, atau jika orang yang
melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya
hukumnya hukum ijtihad dalam hal ini adalah pertama karena ijtihad tidak boleh
dilakukan jika telah ada nash dan sharih dan qath’i, kedua
karena orang yang berijtihad tidak atau belum memenuhi syarat yang dituntut
untuk ijtihad.
Dalam menghadapi
suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi, dan kasus
tersebut belum diatur secaa jelas dalam nash Al-Qur’an maupun sunnah,
sedangkan orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang,
maka dalam hal ini, hukum bberijtihad bagi seorang faqih hukumnya mubah
atau boleh.[5]
C.
Dasar
Hukum Ijtihad
ijtihad bisa
dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Yang
menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui
pernyataan yag jelas maupun berdasarkan isyarat diantaranya:
1.
Firman
Allah SWT.
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآاَرَكَ الّله
Sesungguhnya kami turunkan
kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi diantara manusia dengan apa
yang Allah mengetahui kepadamu. (Q.S. an-Nisa’:105)
2.
Adanya
keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Hadis yang
diriwayatkan oleh Umar:
إِذَاحَكَمَ الْحاَكِمُ
فَاجْتَهَدَفَاَصَابَفَلَهُ أَجْرَانِ وَاِذَاحَكَمَ فَجْتَهَدثُمَّ أَخْطَأَ
فَلَهُ أَجْرٌ
“jika
seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka iya mendapat dua, dan bila
salah maka iya akan mendapat satu pahala.”
Dan hadis Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW.
Mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
“Rasulullah SAW. Bertanya,
“dengan apa kamu meghukumi?” iya menjawab, “dengan apa yang ada dalam kitab
Allah. Bertanya Rasulullah, “jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?
“dia menjawab: “aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah “.Rasul
bertanya lagi, “jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?”berkata
Mu’adz, “aku berijtihad dengan pendapatku. “Rasullulah bersabda, “aku bersyukur
kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasulul-Nya. “
Dan hal itu
telah diikuti oleh para sahabat setelah
Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru
yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunah Rasul.[6]
D.
Macam-macam
Ijtihad
Di kalangan
ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’i
menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya
satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau
maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan
lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu,
qiyas dan akal.
Pemahaman mereka
tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu
mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau
setidak-tidaknya mendekati syariat. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi
membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan
pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu:
a.
Ijtihad
Al-Batani, yaitu ijtihad
untuk menjelaskan huku-hukum syara’ dari nash
b.
Ijtihad
Al-Qiyasi, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan menggunakan metode qiyas .
c.
Ijtihad
Al-Istislah, yaitu ijtihad
terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah
dengan menggunakan ro’yu berdasarkan kaidah istishlah
Pembagian diatas
masih belum sempurna, seperti yang di ungkapkan oleh Muhammad Taqiyu Al-Hakim
dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya,
ijtihad itu dapat di bagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
A. Ijtihad Al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya di dasarkan pada
akal, tidak menggunakan dalil syara’ . mujtahid di bebaskan untuk
berfikir, dengan menggunakan kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga ke
mudharotan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan ain-lain.
B. Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk
dalam bagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan
lain-lain.[7]
E.
Syarat-Syarat
Mujtahid
Para ulama
berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui
cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq
(penerapan hukum). Sebelum dikemukakan beberapa pendapat ulama menegenai
syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu mengenai rukun ijtihad,
yaitu sebagai berikut.
1.
Al-waqi’,
yaitu adanya kasus yang
terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nash.
2.
Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai
kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.
Mujtahid
fih, ialah
hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4.
Dalil
syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih.
Menurut Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, syarat-syarat bagi mujtahid ada dua. Pertama,
mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat
mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang
seharusnya diakhirkan. Kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang
dapat merusak keadilannya. Orang yang tidak adil tidak dapat diterima fatwa dan
pendapatnya. Syarat-syarat yang diajukan al-Ghazali itu masih bersifat umum
sehingga memerlukan rincian, terutama syarat yang pertama. Al-Ghazali pun tidak
menjelaskan yang dimaksud adil pada syarat yang kedua.
Menurut Fakkhr
al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi, syarat-syarat mujtahid adalah
sebagai berikut:
1.
Mukallaf,
karena hanya mukallaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2.
Mengetahui
makna-makna lafad dan rahasianya.
3.
Mengetahui
keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau
larangan.
4.
Mengetahui
keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.
Menurut Abu
Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H:90-1), syarat-syarat mujtahid ada tiga. Pertama,
memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu dlaruriyyat
yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh
al-nafs), pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql), pemeliharaan keturunan (hifzh
al-nasl), dan pemeliharaan harta (hifzh al-mal); hajiyyat dan tahsiniyyat.Kedua,
mampu melakukan penetapan hukum. Ketiga, memahami bahasa Arab dan
ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Melihat begitu
banyak dan beragamnya syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid,
tampaknya untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi. Oleh karena itu,
menurut penulis, ijtihad tidak hanya dapat dilakukan oleh perorangan (ijtihad fardiah),
tetapi juga dapat dilakukan secara kelompok (ijtihad jamai’). Artinya,
sekelompok ulama dengan disiplin ilmu yang berbeda secara sama-sama melakukan
ijtihad.[8]
F.
Tingkatan
Mujtahid
Adapun tingkatan
para mujtahid, menurut para ulama, diantara-nya menurut Imam Nawawi,
Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan:
1.
Mujtahid
mustaqil, adalah seorang mujtahid
yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya
sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi,
tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2.
Mujtahid
mutlaq ghairu mustaqil,
adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia
tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu
imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib,
tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak
dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yang
ditempuh imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3.
Mujtahid
muqayyad/mujtahid takhrij,
adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia
diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil,
tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Di
antaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari
golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi’i.
4.
Mujtahid
Tarjih, adalah mujtahid
yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut
Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hafal
kaidah-kaidah imamnya, mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat,
dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di
atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Di
antaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
5.
Mujtahid
Fatwa, adalah orang
yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu
menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah
dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
Menurut
Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa
yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada
dalam madzhab tersebut.”[9]
G.
Lapangan
Ijtihad ( Majal al-Ijtihad)
Lapangan atau
wilayah ijtihad atau majal al-ijtihad adalah masalah-masalah yang
diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang
terdapat dalam ilmu ushul fiqh adalah al-mujtahid fih. Menurut
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’
yang tidak memiliki dalil qath’i.
Wahbah
al-Zuhaili menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama,
sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad Saw
dalam Al-Quran dan al-Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua, sesuatu
yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni al-tsubut wa al-dalalah,[10]yakni
tidak pasti keberadaannya sebagai dalil atau nash dan tidak pasti pula
penunjukannya terhadap hukum.
jika suatu
masalah telah ada dalilnya, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijma’
tentang keberadaannya sebagai dalil adalah pasti (qath’i al-wurud)
seperti dalil Al-Quran, hadis mutawatir dan ijma’ sahabat yang
dinukilkan secara mutawatir, begitu pula pasti penunjukannya terhadap hukum (qath’i
al-dilalah), maka hukumnya pun sudah pasti. Dalam hal ini tidak berlaku
lagi ijtihad; artinya, masalah ini bukan menjadi lapangan ijtihad. Umpamanya
hak waris anak laki-laki semisal dua kali hak kewarisan anak perempuan,
sebagaimana tersebut dalam surat an-nisaa (4):11. Keberadaannya sebagai
dalil adalah pasti karena ia adalah ayat Al-Quran dan penunjukannya terhadap
hukum pun pasti karena tidak memberikan alternatif pemahaman lain.
Dalam hal ini para fuqaha menetapkan sebuah kaidah:
لاَمَسَاغٌ
لِلْاِ جْتِهَادِفِي مَوْضِعِ النَّصِ الصَّرِيْحِ
Tidak ada lapangan untuk berijtihad dalam hal ini yang
sudah ditetapkan dengan nash yang jelas.[11]
H.
Metode
Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud dalam bahasan ini adalah thariqah
(طريقة), yaitu jalan atau cara yang harus
dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’.
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai
langkah-langkah yang harus ditempuh seorang mujahid dalam istinbath hukum.
1.
Langkah
pertama yang harus dilakukan mujahid adalah merujuk pada Al-Qur’an. Bila
menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan lahir, maka si mujahid harus
mencari penjelasannya, baik dalam bentuk lafaz khas yang akan men-taksis-kan;
lafaz muqayyad yang menjelaskan kemutlakkannya; qarinah (petunjuk)yang
akan menjelaskan maksudnya.
Selanjutnya, dalam meneliti ayat Al-Qur’an yang
mengandung hukum tersebut perlu dipilah-pilah antara lafaz-nya yang zhahir,
nash, mufassar, dan murkam. Perlu dipilah pula antara penunjukannya
secara haqiqat dan majas; antara yang sharih, isyarah,
iqtidhah, dan dilalah. Diperiksa pula manthuq-nya dan dicari mafhum
yang terdapat di balik manthuq itu.
Hukum dalam Al-qur’an itu dianilisis dari segala
seginya. Bila mujahid tidak menemukan jawaban hukumnya dari apa yang tersurat
secara jelas dalam teks atau maanthuq Al-Qur’an, ia mencarinya dari
pengertian yang terkandung (tersirat) di balik teks Al-Qur’an.
Dari
pengkajian dan penelitian terhadap Al-Qur’an secara menyeluruh, mujtahid akan menemukan
hukum Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
2.
Kalau
tidak menemukan hukumnya dalam Al-Qur’an , mujahid melangkah ke tahap
berikutnya, yaitu merujuk kepada sunah Nabi. Mula-mula mujahid mencarinya dari
sunah yang mutawatir, kemudian
dari sunah yang tingkat kesahihannya berada di bawah mutawatir. Bila
tidak menemukan dari yang tersurat dalam lafaz hadis, mujahid mencarinya
dari apa yang tersirat di balik lafaz itu.
3.
Langkah
selanjutnya, mujahid mencari jawabannya dari kes[akatan ulama sahabat. Bila dari
sini ia menemukan hukum, maka ia menetapkan hukum menurut apa yang telah
disepakati ulama sahabat tersebut. Kespakatan ulama terebut dinamai ijma’.
4.
Bila
tidak ada kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya, maka mujahid
menggunakan segenap kemampuan daya dan untuk menggali dan menemukan hukum
ilmunya Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam formulasi
hukum yang kemudian disebut fiqh.
Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dirumuskan
mengenai metode ijtihad yang ditempuh oleh empat imam madzhab yang empat,
yaitu:
a.
Metode
ijtihad Imam Abu Hanifah, adalah sebagai berikut: Al-Qur’an; Sunah Nabi dengan
caranya yang ketat dan hati-hati; pendapat sahabat; qiyas dalam
penggunaan yang luas; istihsan dan helah syariat. Tidak disebutkannya
ijma’ dalam rumusan itu bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’
tetapi menggunakan ijma’ sahabat yang tergambar dalam ucapannya di atas.
b.
Imam
Malik menggunakan metode dengan mengikuti langkah sebagai berikut: Al-Qur’an,
Sunah Nabi, amal ahli Madinah, Maslahat mursalah, qiyas dan saddu
al-zari’ah. Amal ahli Madinah yang dimaksudkan di sini berarti ijma’ dalam
artian umum.
c.
Imam
Syafi’i menempuh langkah dan metode ijtihad sebagai berikut: Al-Qur’an, sunah
Nabi yang sahih, meskipun menurut periwayatan perorangan (ahad); ijma’
seluruh mujahid umum islami dan qiyas. Al-Quran dan sunah dijadikannya
dalam satu level sedangkan ijma’ sahabat lebih kuat dari ijma’ ulama
dalam artian umum. Langkah terakhir yang dilakukannya adalah istishab.
Imam Ahmad ibn
Hanbal dalam berijtihad menenpuh langkah sebagai berikut: mula-mula mencarinya
dalam nash al-Qur’an dan Sunah; kemudian mencarinya dalam fatwa sahabat
(yang dimaksud fatwa sahabat di sini ialah fatwa sahabat dalam keadaan pendapat
mereka sama, yakni ijma’sahabat) kemudian memilih di antara fatwa
sahabat bila diantara fatwa itu terdapat beda pendapat; selanjutnya mengambil hadis
mursal dan hadis yang tingkatannya diperkirakan lemah; baru terakhir
menempuh jalan qiyas.[12]
Contoh ijtihad ekonomi syariah dalam
kehidupan modern
Dalam globalisasi telah menimbulkan dampak besar
terhadap kehidupan manusia, termasuk yang paling berpengaruh adalah kegiatan
ekonomi bisnis, bentuk-bentuk bisnis, dan berita baru berkembang dengan cepat seperti
hedging, money market, capital market, investasi emas, jual beli valuta asing,
bursa comodoti, indeks trading, sistem pembayaran dan pinjaman dengan kartu
kredit, dan salah satu insrument ekonomi bisnis adalah lembaga-lembaga
perbankan dan keuangan. Produk-produk perbankan dan keuangan sangat banyak dan
berkembang secara inovatif, untuk bisa memenuhi kebutuhan dan persaingan pasar.
Demikian juga perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan yang sangat
pesat seperti perbankan, leasing, mutual fund dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijtihad
merupakan suatu proses pengadilan hukum islam yang berkaitan erat dengan bidang
fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal perbuatan. Oleh karena itu,
menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf,
karena ijtihad hanya berkenaan dengan dalil-dalil zhanni, sedangkan ilmu kalam
menggunakan dalil yang qhat’i, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada bebrapa persamaan dan
perbedaan dan adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Quran dan
Sunnah.
Hukum ijtihad
bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunat atau haram, bergantung
pada kapasitas orang tersebut.
Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H:90-1),
syarat-syarat mujtahid ada tiga. Pertama, memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid
al-syari’ah), yaitu dlaruriyyat yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh
al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs), pemeliharaan akal (hifzh
al-‘aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan pemeliharaan
harta (hifzh al-mal); hajiyyat dan tahsiniyyat.Kedua, mampu
melakukan penetapan hukum. Ketiga, memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu
yang berhubungan dengannya
B.
Saran
Demikian
makalah ijtihad sebagai sumber hukum islam dalam mata kuliah Ushul Fiqh , yang
tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses
dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharap kitik serta saran yang
membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga makalah ini
dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Koto, Aliddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2014
Hadi,Saiful, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Sabda Media, 2009
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta:
Kencana Prenadamedia Group, 2008
Hakim Abd. Atang dan Mubarok Jaih, Metodologi Studi
Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000
Syafe’i,
Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
[1] Alaidin Koto, Ilmu
Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2014) hlm. 121
[2] Saiful Hadi, Ushul
Fiqih, (Yogyakarta, Sabda Media, 2009) hlm. 127
[3] Ibid Alaidin
Koto hlm. 122
[4] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta, Prenamedia Group, 2008) hlm.
258-260
[5] Ibid hlm.
260-263
[6] Ibid. Rachmat
syafe’i. Hlm. 101-103
[7] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010) hlm. 103-104
[8] Atang Abd.
Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya 2000)
hlm. 100-104
[9] Ibid. Rachmat
Syafe’i. hlm. 108-109
[10] Ibid. Atang
Abd, Hakim. hlm. 104
[11] Ibid. Amir
Syarifuddin. hlm. 331
[12] Ibid. amir
Syarifuddin. hlm. 323-328
Tidak ada komentar:
Posting Komentar