Senin, 28 Mei 2018

PENGERTIAN IJTIHAD, SYARA-SYARAT MUJTAHID, TINGKATAN MUJTAHID, LAPANGAN IJTIHAD, METODE IJTIHAD DAN HUKUM BERIJTIHAD


PENGERTIAN IJTIHAD, SYARA-SYARAT MUJTAHID, TINGKATAN MUJTAHID, LAPANGAN IJTIHAD, METODE IJTIHAD DAN HUKUM BERIJTIHAD
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh yang diampu oleh : Dosen Moch. Cholid Wardi, M.H.I.

                                                                     Oleh kelompok 7 :
                                                                        Ulfa Sakiyah
                                                                           Yuliatin
          Yuni Indriani
      Zakiyatul masrurah
         Nurun Najwa








PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI (IAIN) MADURA PAMEKASAN 2018
KATA PENGANTAR
السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan  rahmat dan taufiknya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini. Makalah ini kami susun berdasarkan mata kuliah Ushul Fiqh yang berjudul “Pengertian ijtihad, Syarat-syarat mujtahid, Tingkatan mujtahid, Lapangan ijtihad, Metode ijtihad, dan Hukum ijtihad.
Demikian tugas makalah ini kami susun dengan harapan semoga bermanfaat bagi kami dan para pembaca. Semoga dapat memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Tidak ada karya yang sempurna dengan segala kerendahan hati saran dan kritik kami harapkan dari para pembaca guna meningkatkan kualits berfikir dalm penyusunan makalah sehingga menghasilkan karya tulis yang sesuai yang diharapkan.




Pamekasan , 21 April 2018


Kelompok 7




DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A.           Latar Belakang..................................................................... 1
B.            Rumusan Masalah................................................................ 1
C.            Tujuan Masalah.................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 3
A.           Pengertian Ijtihad................................................................. 3
B.            Hukum Berijtihad................................................................. 5
C.            Dasar Hukum Ijtihad............................................................ 7
D.           Macam-Macam ijtihad.......................................................... 8
E.            Syarat-syarat Mujtahid......................................................... 9
F.             Tingkatan Mujtahid.............................................................. 10
G.           Lapangan Ijtihad (Majal al-Ijtihad)...................................... 12
H.           Metode Ijtihad..................................................................... 13
BAB III PENUTUP............................................................................... 15
A.           Kesimpulan........................................................................... 15
B.            Saran..................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA............................................................................. 16


BAB I
PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
Mengingat pentingnya dalam syariat islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Assunnah, secara komprehensif  karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Oleh karena itu, diperlukan penyelesaian secra sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan  yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya “pada waktu sujud” bersungguh-sungguh dalam berdoa.
Ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas. Adapun dasar hukum itu sendiri adalah A-Quran dan Assunnah. Maka dari itu, karena banyak persoalan di atas, kita sebagai umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu yaitu dengan cara melaksanakan ijtihad.
B.            Rumusan Masalah
a.              Apa Pengertian ijtihad?
b.             Bagaimana Hukumberijtihad?
c.              Apa Dasar hukum ijtihad?
d.             Apa saja Macam-macam ijtihad?
e.              Apa saja Syarat-syarat mujtahid?
f.              Apa saja Tingkatan mujtahid?
g.             Apa saja Lapangan ijtihad ?
h.             Apa saja Metode ijtihad?
C.           Tujuan Masalah
a.              Untuk mengetahui  Pengertian ijtihad
b.             Untuk mengetahui Bagaimana Hukumberijtihad
c.              Untuk mengetahui  Dasar hukum ijtihad
d.             Untuk mengetahui Apa saja Macam-macam ijtihad
e.              Untuk mengetahui Apa saja Syarat-syarat mujtahid
f.              Untuk mengetahuiApa saja Tingkatan mujtahid
g.             Untuk mengetahui Apa saja Lapangan ijtihad
h.             Untuk mengetahui Apa saja Metode ijtihad


BAB II
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Ijtihad
ijtihad ((الإجتهاد dari segi bahasa berasal dari kata jahada (جهد)yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata “ijtihad” dipakai mengikuti wazan ifti’al (افتعال) yang berarti “bersangatan dalam pekerjaan” (مبالغة في الفعل). Oleh sebab itu, kata “ijtihad” berarti mencurahkan segala kemampuan dalam segala perbuatan. Dengan demikian, kata “jihad” (جهاد) dan “ijtihad” (إجتهاد) berasal dari kata yang sama. Hanya saja, kata “ijtihad” bergerak dalam lapangan pemikiran dan penelitian, sedangkan kata “jihad” bergerak dalm ruang lingkup perbuatan dan tingkah laku dalam skala yang lebih luas.[1]
Ulama ushuliyyin mengartikan ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan dari seorang mujtahid dalam mendapatkan kepastian bagi suatu masalah yang dimaksud.[2] Pada prinsipnya, ijtihad adalah manifestasi pemikiran kefilsafatan. Oleh sebab itu, ijtihad merupakan kerja akal yang memperoleh bimbingan syara’ sehingga hasil ijtihad itu merupakan bagian dari hasil kerja akal manusia.[3]
Ijtihad menurut istilah, banyak rumusan yang diberikan mengenai definisi “ijtihad”, tetapi satu sama lainnya tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan kelihatan saling menguatkan dan menyempurnakan. Diantara definisi tersebut adalah:
1.    Imam al-Syaukani dalam kitabnya Irsyad al-Fubuli memberikan definisi:
بَذْلُ اْلوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ عَمَلِيٍّ بِطَرِقِ اْلاِسْتِنْباَطِ
Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar”i yang bersifat amali melalui cara istinbath.
Dalam definisi ini digunakan kata bazlu al-was”i untuk menjelaskan bahwa ijtihad itu dalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti bila usaha itu ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersugguh-sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad.
Penggunaan kata syar”i mengandung arti bahwa yang dihasilkan dalam usaha ijtihad adalah hukum syar”i atau ketentuan yang menyangkut tingkah laku manusia. Sebagai fasal (kata pemisah) dalam definisi itu, kata syar”i ini mengeluarkan dari pengertian ijtihad bentuk usaha menemukan sesuatu yang bersifat aqli, lughawi, dan hissi. Pengerahan kemampuan untuk menemukan yang demikian tidak disebut ijtihad.
2.    Ibnu Subki memberikan definisi sebagai berikut:
اِاِسْتِفْرَاغُ اْلفَقِيْهِ اْلوُسْعَ لِتَحْصِيْلِ ظَنِّ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ
Pengerahan kemampuan seorang faqih untuk menghasilkan dugaan kuat tentang hukum syar’i.
Dibandingkan dengan definisi al-Syaukani, Ibnu Subki menambahkan lafadz al-faqih sesudah kata bazlu dan kata zhan sebelum kata hukum syar’i.
Dengan penambahan kata faqih, mengandung arti bahwa yang mengerahkan kemampuan dalam ijtihad itu bukanlah sembarang orang, tetapi orang yang telah mencapai derajat tertentu yang disebut faqih, karena hanya orang faqih-lah yang dapat berbuat demikian. Usaha yang dilakukan orang awam yang tidak mempunyai pengetahuan tentang fiqih bukan ijtihad.
3.    Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam, menyempurnakan dua definisi sebelumnya dengan penambahan kata:
بِحَيْثُ يَحْشَ مِنَ النَّفْسِ الْعَجْزِ عَنِ الْمَزِيْدِ فِيْهِ
Dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu dibuat lebih dari pada itu.

Definisi al-Amidi itu selengkapnya adalah:
اِاِسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ طَلِبِ الظِّنِّ بِشَيْئٍ مِنَ اْلاَحْكَمِ الشَّرْعِيَّةِ بِحَيْثُ يَححْسَ مِنَ النَّفْسِ اْلعَجْزِ عَنِ اْلمَزِيْدِ فِيْهِ
Pengerahan kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuat lebih dari itu.

Penambahan fasal dalam definisi al-Amidi tersebut mengandung arti bahwa pengerahan kemampuan tersebut dilakukan secara maksimal. Dengan demikian, pengerahan kemampuan secara sembrono, asal-asalan atau sekadarnya saja, tidak dinamakan ijtihad.
Dari meneganalisis ketiga definisi diatas dan membandingkannya dapat diambil hakikat dari ijtihad itu sebagai berikut:
a.    Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal.
b.    Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu dibidang keilmuan yang disebut faqih.
c.    Produk atau yang diperoleh dari usaha ijtihad itu adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara’ yang bersifat amaliah.
d.   Usaha ijtihad ditempuh melalui cara-cara istinbath.[4]
B.            Hukum Berijtihad
Yang dimaksud dengan hukum berijtihad di sini ialah hukum dari orang yang melakukan ijtihad, baik dari tujuan hukum taklifi, maupun hukum wadh’i. Karena yang berwenang melakukan ijtihad itu adalah orang yang telah mencapai tingkat faqih (sebagaimana disebutkan dalam definisi diatas), maka mahkum ‘alaih-nya (subjek atau orang yang dikenai oleh hukum) disini adalah orang yang faqih.
Secara umum, hukum ijtihad itu adalah wajib. Artinya, seoarang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara’ dalam hal-hal yanag syara’ sendiri tidak menetapkannya secara jelas dan pasti. Adapun dalil tentang kewajiban untuk berjtihad itu dapat dipahami dari firman Allah dalam Al-Quran:
1.    Surah al-Hasyr (59):2:
فَاعْتَبِرُوْا يَاأُوْلِى اْلأبْصَارِ
Maka ambil ihtibarlah hai orang-orang yang puya pandangan.
Dalam ayat ini Allah menyuruh orang-orang yang mempunyai pandangan (faqih) untuk mengambil ihtibar atau pertimbangan dalam berpikir. Perintah unutk mengambil ihtibar ini sesudah Allah menjelaskan mala petaka yang menimpa Ahli Kitab (Yahudi) disebabkan oleh tingkah mereka yang tidak baik. Seorang faqih akan dapat mengambil kesimpulan dari ibarat Allah tersebut bahwa kaum manapun akan mengalami akaibat yang sama bila mereka berlaku seperti kaum Yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini. Cara mengambil ihtibar ini merupakan salah satu bentuk dari ijtihad. Karena dalam ayat ini Allah menyuruh mengambil ikhtibar berarti Allah juga menyuruh berijtihad, sedangkan suruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib.
2.    Surah an-Nisa’ (4):59:
فَإِنْتَبنَازعْتُمْ فِي شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللَّهِ وَالرَّسُوْلِ..............
Maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul........
Allah menyuruh mengembalikan sesuatu yang di perselisihkan kepada Allah dan Rasul. Yang diperselisihkan itu biasanya sesuatu yang ditetapkan Allah secara jelas dan tegas dalam firman-Nya. Sedangkan perintah mengembalikannya kepada Allah dan Rasul berarti menghubungkan hukumnya kepada apa yang pernah di tetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an atau yang ditetapkan Rasul dalam sunnah. Cara seperti ini disebut qiyas (القياس). Sedangkan qiyas itu merupakan salah satu bentuk ijtihad. Karena itu, suruhan (perintah) Allah untuk mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul ini berarti suruhan untuk berijtihad dan setiap suruhan itu pada dasarnya adalah untuk wajib.
Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih yang dapat melakukan ijtihad dan ia merasa kalau tidak melakukan ijtihad pada saat itu akan berakibat kasus tersebut luput dari hukum, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib ‘ain.
Bila seorang faqih ditanya tentang hukum suatu kasus yang telah berlaku, sedangkan ia hanya satu-satunya faqih waktu itu, tetapi ia tidak khawatir akan luputnya kasus tersebut dari hukum, atau pada waktu itu ada beberapa orang faqih yang mampu melakukan ijtihad, maka hukum berijtihad bagi faqih tersebut adalah wajib kifayah. Hal ini berarti bahwa bila untuk menetapkan hukum suatu kasus tersebut telah ada seorang faqihyang tampil untuk berijtihad, maka faqih yang lain bebas dari kewajiban berijtihad. Namun bila tidak ada seorang faqih pun yang berijtihad, sehingga hukumnya luput, maka semua faqih yang ada disitu berdosa, karna meninggalkan kewajiban kifayah.
Bila keadaan yang ditanyakan kepada faqih tersebut belum terjadi secara praktis, tetapi umat menghendaki ketetapan hukumnya untuk mengantisipasi timbulnya kasus tersebut, maka ijtihad dalam hal ini hukumnya adalah sunat; artinya tidak berdosa faqih tersebut bila tidak melakukan ijtihad, namun jika ia berijtihad akan lebih baik.
Berijtihad itu hukumnya haram untuk kasus yag telah ada hukumnya yang ditetapkan berdasarkan dalil yang sharih dan qath’i, atau jika orang yang melakukan ijtihad itu belum mencapai tingkat faqih. Jadi, haramnya hukumnya hukum ijtihad dalam hal ini adalah pertama karena ijtihad tidak boleh dilakukan jika telah ada nash dan sharih dan qath’i, kedua karena orang yang berijtihad tidak atau belum memenuhi syarat yang dituntut untuk ijtihad.
Dalam menghadapi suatu kasus yang sudah terjadi dalam kenyataan atau belum terjadi, dan kasus tersebut belum diatur secaa jelas dalam nash Al-Qur’an maupun sunnah, sedangkan orang yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid ada beberapa orang, maka dalam hal ini, hukum bberijtihad bagi seorang faqih hukumnya mubah atau boleh.[5]
C.           Dasar Hukum Ijtihad
ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yag jelas maupun berdasarkan isyarat diantaranya:
1.    Firman Allah SWT.
اِنَّا اَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَآاَرَكَ الّله
Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi diantara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu. (Q.S. an-Nisa’:105)
2.    Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, diantaranya:
Hadis yang diriwayatkan oleh Umar:
إِذَاحَكَمَ الْحاَكِمُ فَاجْتَهَدَفَاَصَابَفَلَهُ أَجْرَانِ وَاِذَاحَكَمَ فَجْتَهَدثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka iya mendapat dua, dan bila salah maka iya akan mendapat satu pahala.”
Dan hadis Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW. Mengutusnya ke Yaman untuk menjadi hakim di Yaman.
“Rasulullah SAW. Bertanya, “dengan apa kamu meghukumi?” iya menjawab, “dengan apa yang ada dalam kitab Allah. Bertanya Rasulullah, “jika kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah? “dia menjawab: “aku memutuskan dengan apa yang diputuskan Rasulullah “.Rasul bertanya lagi, “jika tidak mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?”berkata Mu’adz, “aku berijtihad dengan pendapatku. “Rasullulah bersabda, “aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepakati utusan dari Rasulul-Nya. “
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat  setelah Nabi wafat. Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunah Rasul.[6]
D.           Macam-macam Ijtihad
Di kalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’i menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syariat. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu:
a.     Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan huku-hukum syara’ dari nash
b.    Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan metode qiyas .
c.     Ijtihad Al-Istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan menggunakan ro’yu berdasarkan kaidah istishlah
Pembagian diatas masih belum sempurna, seperti yang di ungkapkan oleh Muhammad Taqiyu Al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat di bagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
A.  Ijtihad Al-Aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya di dasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’ . mujtahid di bebaskan untuk berfikir, dengan menggunakan kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga ke mudharotan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan, dan ain-lain.
B.  Ijtihad syari’, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam bagian ini adalah ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.[7]
E.            Syarat-Syarat Mujtahid
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq (penerapan hukum). Sebelum dikemukakan beberapa pendapat ulama menegenai syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu mengenai rukun ijtihad, yaitu sebagai berikut.
1.    Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nash.
2.    Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3.    Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4.    Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih.
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, syarat-syarat bagi mujtahid ada dua. Pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang seharusnya diakhirkan. Kedua, adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya. Orang yang tidak adil tidak dapat diterima fatwa dan pendapatnya. Syarat-syarat yang diajukan al-Ghazali itu masih bersifat umum sehingga memerlukan rincian, terutama syarat yang pertama. Al-Ghazali pun tidak menjelaskan yang dimaksud adil pada syarat yang kedua.
Menurut Fakkhr al-Din Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi, syarat-syarat mujtahid adalah sebagai berikut:
1.    Mukallaf, karena hanya mukallaflah yang mungkin dapat melakukan penetapan hukum.
2.    Mengetahui makna-makna lafad dan rahasianya.
3.    Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4.    Mengetahui keadaan lafad; apakah memiliki qarinah atau tidak.
Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H:90-1), syarat-syarat mujtahid ada tiga. Pertama, memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu dlaruriyyat yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs), pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan pemeliharaan harta (hifzh al-mal); hajiyyat dan tahsiniyyat.Kedua, mampu melakukan penetapan hukum. Ketiga, memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Melihat begitu banyak dan beragamnya syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid, tampaknya untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi. Oleh karena itu, menurut penulis, ijtihad tidak hanya dapat dilakukan oleh perorangan (ijtihad fardiah), tetapi juga dapat dilakukan secara kelompok (ijtihad jamai’). Artinya, sekelompok ulama dengan disiplin ilmu yang berbeda secara sama-sama melakukan ijtihad.[8]
F.            Tingkatan Mujtahid
Adapun tingkatan para mujtahid, menurut para ulama, diantara-nya menurut Imam Nawawi, Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan:
1.             Mujtahid mustaqil, adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2.             Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya, melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3.             Mujtahid muqayyad/mujtahid takhrij, adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Di antaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi’i.
4.             Mujtahid Tarjih, adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Di antaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
5.             Mujtahid Fatwa, adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.
Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut.”[9]
G.           Lapangan Ijtihad ( Majal al-Ijtihad)
Lapangan atau wilayah ijtihad atau majal al-ijtihad adalah masalah-masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Istilah teknis yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh adalah al-mujtahid fih. Menurut Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lapangan ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil qath’i.
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua. Pertama, sesuatu yang tidak dijelaskan sama sekali oleh Allah dan Nabi Muhammad Saw dalam Al-Quran dan al-Sunnah (ma la nasha fi ashlain). Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni al-tsubut wa al-dalalah,[10]yakni tidak pasti keberadaannya sebagai dalil atau nash dan tidak pasti pula penunjukannya terhadap hukum.
jika suatu masalah telah ada dalilnya, baik dalam bentuk nash maupun dalam bentuk ijma’ tentang keberadaannya sebagai dalil adalah pasti (qath’i al-wurud) seperti dalil Al-Quran, hadis mutawatir dan ijma’ sahabat yang dinukilkan secara mutawatir, begitu pula pasti penunjukannya terhadap hukum (qath’i al-dilalah), maka hukumnya pun sudah pasti. Dalam hal ini tidak berlaku lagi ijtihad; artinya, masalah ini bukan menjadi lapangan ijtihad. Umpamanya hak waris anak laki-laki semisal dua kali hak kewarisan anak perempuan, sebagaimana tersebut dalam surat an-nisaa (4):11. Keberadaannya sebagai dalil adalah pasti karena ia adalah ayat Al-Quran dan penunjukannya terhadap hukum pun pasti karena tidak memberikan alternatif pemahaman lain.
Dalam hal ini para fuqaha menetapkan sebuah kaidah:
لاَمَسَاغٌ لِلْاِ جْتِهَادِفِي مَوْضِعِ النَّصِ الصَّرِيْحِ
Tidak ada lapangan untuk berijtihad dalam hal ini yang sudah ditetapkan dengan nash yang jelas.[11]
H.           Metode Ijtihad
Metode ijtihad yang dimaksud dalam bahasan ini adalah thariqah (طريقة), yaitu jalan atau cara yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam memahami, menemukan dan merumuskan hukum syara’.
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh seorang mujahid dalam istinbath hukum.
1.             Langkah pertama yang harus dilakukan mujahid adalah merujuk pada Al-Qur’an. Bila menemukan dalil atau petunjuk yang umum dan lahir, maka si mujahid harus mencari penjelasannya, baik dalam bentuk lafaz khas yang akan men-taksis-kan; lafaz muqayyad yang menjelaskan kemutlakkannya; qarinah (petunjuk)yang akan menjelaskan maksudnya.
Selanjutnya, dalam meneliti ayat Al-Qur’an yang mengandung hukum tersebut perlu dipilah-pilah antara lafaz-nya yang zhahir, nash, mufassar, dan murkam. Perlu dipilah pula antara penunjukannya secara haqiqat dan majas; antara yang sharih, isyarah, iqtidhah, dan dilalah. Diperiksa pula manthuq-nya dan dicari mafhum yang terdapat di balik manthuq itu.
Hukum dalam Al-qur’an itu dianilisis dari segala seginya. Bila mujahid tidak menemukan jawaban hukumnya dari apa yang tersurat secara jelas dalam teks atau maanthuq Al-Qur’an, ia mencarinya dari pengertian yang terkandung (tersirat) di balik teks Al-Qur’an.
          Dari pengkajian dan penelitian terhadap Al-Qur’an secara menyeluruh, mujtahid akan menemukan hukum Allah yang terkandung dalam Al-Qur’an.
2.             Kalau tidak menemukan hukumnya dalam Al-Qur’an , mujahid melangkah ke tahap berikutnya, yaitu merujuk kepada sunah Nabi. Mula-mula mujahid mencarinya dari sunah yang mutawatir,  kemudian dari sunah yang tingkat kesahihannya berada di bawah mutawatir. Bila tidak menemukan dari yang tersurat dalam lafaz hadis, mujahid mencarinya dari apa yang tersirat di balik lafaz itu.
3.             Langkah selanjutnya, mujahid mencari jawabannya dari kes[akatan ulama sahabat. Bila dari sini ia menemukan hukum, maka ia menetapkan hukum menurut apa yang telah disepakati ulama sahabat tersebut. Kespakatan ulama terebut dinamai ijma’.
4.             Bila tidak ada kesepakatan ulama sahabat tentang hukum yang dicarinya, maka mujahid menggunakan segenap kemampuan daya dan untuk menggali dan menemukan hukum ilmunya Allah yang ia yakini pasti ada, kemudian merumuskannya dalam formulasi hukum yang kemudian disebut fiqh.
Dalam beberapa literatur ushul fiqh, dirumuskan mengenai metode ijtihad yang ditempuh oleh empat imam madzhab yang empat, yaitu:
a.    Metode ijtihad Imam Abu Hanifah, adalah sebagai berikut: Al-Qur’an; Sunah Nabi dengan caranya yang ketat dan hati-hati; pendapat sahabat; qiyas dalam penggunaan yang luas; istihsan dan helah syariat. Tidak disebutkannya ijma’ dalam rumusan itu bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan ijma’ sahabat yang tergambar dalam ucapannya di atas.
b.    Imam Malik menggunakan metode dengan mengikuti langkah sebagai berikut: Al-Qur’an, Sunah Nabi, amal ahli Madinah, Maslahat mursalah, qiyas dan saddu al-zari’ah. Amal ahli Madinah yang dimaksudkan di sini berarti ijma’ dalam artian umum.
c.    Imam Syafi’i menempuh langkah dan metode ijtihad sebagai berikut: Al-Qur’an, sunah Nabi yang sahih, meskipun menurut periwayatan perorangan (ahad); ijma’ seluruh mujahid umum islami dan qiyas. Al-Quran dan sunah dijadikannya dalam satu level sedangkan ijma’ sahabat lebih kuat dari ijma’ ulama dalam artian umum. Langkah terakhir yang dilakukannya adalah istishab.
Imam Ahmad ibn Hanbal dalam berijtihad menenpuh langkah sebagai berikut: mula-mula mencarinya dalam nash al-Qur’an dan Sunah; kemudian mencarinya dalam fatwa sahabat (yang dimaksud fatwa sahabat di sini ialah fatwa sahabat dalam keadaan pendapat mereka sama, yakni ijma’sahabat) kemudian memilih di antara fatwa sahabat bila diantara fatwa itu terdapat beda pendapat; selanjutnya mengambil hadis mursal dan hadis yang tingkatannya diperkirakan lemah; baru terakhir menempuh jalan qiyas.[12] 


Contoh ijtihad ekonomi syariah dalam kehidupan modern
Dalam globalisasi telah menimbulkan dampak besar terhadap kehidupan manusia, termasuk yang paling berpengaruh adalah kegiatan ekonomi bisnis, bentuk-bentuk bisnis, dan berita baru berkembang dengan cepat seperti hedging, money market, capital market, investasi emas, jual beli valuta asing, bursa comodoti, indeks trading, sistem pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, dan salah satu insrument ekonomi bisnis adalah lembaga-lembaga perbankan dan keuangan. Produk-produk perbankan dan keuangan sangat banyak dan berkembang secara inovatif, untuk bisa memenuhi kebutuhan dan persaingan pasar. Demikian juga perkembangan lembaga-lembaga perbankan dan keuangan yang sangat pesat seperti perbankan, leasing, mutual fund dan sebagainya.


BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Ijtihad merupakan suatu proses pengadilan hukum islam yang berkaitan erat dengan bidang fiqih, bidang hukum yang berkenaan dengan amal perbuatan. Oleh karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu kalam dan tasawuf, karena ijtihad hanya berkenaan dengan dalil-dalil zhanni, sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil yang qhat’i, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada bebrapa persamaan dan perbedaan dan adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah Al-Quran dan Sunnah.
Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunat atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H:90-1), syarat-syarat mujtahid ada tiga. Pertama, memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu dlaruriyyat yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa (hifzh al-nafs), pemeliharaan akal (hifzh al-‘aql), pemeliharaan keturunan (hifzh al-nasl), dan pemeliharaan harta (hifzh al-mal); hajiyyat dan tahsiniyyat.Kedua, mampu melakukan penetapan hukum. Ketiga, memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya
B.            Saran
Demikian makalah ijtihad sebagai sumber hukum islam dalam mata kuliah Ushul Fiqh , yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharap kitik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga makalah ini dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.




DAFTAR PUSTAKA
Koto, Aliddin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014
Hadi,Saiful, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Sabda Media, 2009
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2008
Hakim Abd. Atang dan Mubarok Jaih, Metodologi Studi Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.
  




[1] Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2014) hlm. 121
[2] Saiful Hadi, Ushul Fiqih, (Yogyakarta, Sabda Media, 2009) hlm. 127
[3] Ibid Alaidin Koto hlm. 122
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, (Jakarta, Prenamedia Group, 2008) hlm. 258-260
[5] Ibid hlm. 260-263
[6] Ibid. Rachmat syafe’i. Hlm. 101-103
[7] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2010) hlm. 103-104
[8] Atang Abd. Hakim, Metodologi Studi Islam, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya 2000) hlm. 100-104
[9] Ibid. Rachmat Syafe’i. hlm. 108-109
[10] Ibid. Atang Abd, Hakim. hlm. 104
[11] Ibid. Amir Syarifuddin. hlm. 331
[12] Ibid. amir Syarifuddin. hlm. 323-328

Tidak ada komentar:

Posting Komentar