AL-QURAN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
yang diampu olehMoch. Cholid Wardi, M.HI
Disusun Oleh:
KELOMPOK 1
Taifur Rohmanu
(20170703021213)
Abd. Rohim (20170703021001)
Alif Fitrah Fajriadi (20170703021025)
Didik Ariski (20170703021040)
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2017/2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya
kepada kita semua sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan
lancar dan tepat pada waktunya, semoga apa yang kita lakukan bisa mendapatkan
balasan yang setimpal dari Allah.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada
junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari alam jahiliyah
ke alam yang penuh barokah ini. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
ini masih jauh dari kata sempurna.
Keberhasilan makalah ini tidak lain juga disertai
referensi-referensi serta bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Ucapan
terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI
Pamekasan, 8 Maret 2018
Penulis Kelompok 1
KATA PENGANTAR.....................................................................................
i
DAFTAR ISI...................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1
A. Latar Belakang......................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.................................................................................
2
C. Tujuan...................................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................
3
A.
Pengertian
pengertian Al-Quran .......................................................... 3
B.
Dalalah Al-Quran tentang hukum-hukum............................................
6
C.
kedudukan Al-Quran
sebagai sumber hukum...................................... 9
BAB III PENUTUP.........................................................................................
10
A.
Kesimpulan...........................................................................................
10
B.
Saran.....................................................................................................
10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
11
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an
merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat
digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah
yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk
ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma
hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan
dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk
menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila
terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam
Al-Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam
Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut
paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai
malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2.Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan
hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal
keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3.Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut
dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi masalahucapan perbuatan akad
(Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan
lain-lain
B.
Rumusan Masalah
a. Apa pengertian
Al-Quran ?
b.
Bagaimana dalalah Al-Quran tentang hukum-hukum ?
c.
Bagaimana kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum ?
C.
Tujuan
a.
Agar mahasiswa mengetahui pengertian Al-Quran
b. Agar mahasiswa mengetahui dalalahAl-Quran tentang hukum-hukum
c.
Agar mahasiswa mengetahuikedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum
BAB 11
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Quran
Al-Quran adalah kitabullah yang merupakan sumber utama ajaran
islam. Di dalamnya terdapat berbagai prinsip dan ajaran dasar islam yang
meliputi, akidah, syariah dan akhlak. Mengingat pentingnya kedudukan Al-Quran
dalam islam, ia menjadi objek kajian utama dan pertama dalam ushul fiqih guna
menetapkan suatu hukum.
Secara
bahasa, kata Al-Quran merupakan bentuk masdar dari kataقرأ, يقرأ, قراءة, وقراناا , yang
berarti bacaan, berbicara tentang apayang tertulis padanya atau melihat
dan menelaah.[1]
Adapun definisi Al-Quran secara terminologi, menurut sebagian
ulama’ ushul fiqih adalah sebagai berikut:
كَلاَمُ اللٌهُ تَعَالى اَلْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِاللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ اَلْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا بِالتَوَاتُرِ
اَلْمَكْتُوْبُ بِالْمَصَا حِفِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَا وَتِهِ اَلْمَبْدُوْءُ
بِالْفَاتِحَةِ وَالْمَحْتُوْمُ بِسُوْرَةِالنَّاسِ.
Artinya:
“kalam
allah yang diturunkan kepada nabi muhammad SAW. Dalam bahasa arab Yang
dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan
ibadah, tertulis dalam mushaf, Dimulai dari surah Al-Fatihah dan ditutup dengan
surat An-Nas.”
Kitab suci al-qur’an sebetulnya tidak pernah membisu bila diminta
pertimbangan oleh siapa saja untuk menjawab setiap permasalahan hidupnya. Namun
pertimbangan dan petunjuk al-qur’an itu baru bisa ditangkap jika secara bijak
dan cermat dapat dikenali sifat-sifat dan kandungannya. Kemudian menggunakan
metode yang tepat untuk menggali makna yang terkandung didalamnya. [2]
Sebagai kitab suci terakhir, Al-Quran memiliki keistimewaan
dibandingkan kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelumnya. Diantara
keistimewaan Al-Quran adalah:
Ø Al-Quran adalah kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Karena itu, kitab-kitab Allah yang
diturunkan kepada Nabi-nabi sebelumnya tidak disebut Al-Quran dan tidak
memiliki keistimewaan yang dimiliki Al-Quran.
Ø Al-Quran, baik lafadz, maupun maknanya diturunkan oleh Allah dalam
bahasa arab. Hal ini membedakan Al-Quran dengan hadist nabi dan hadist qudsi
yang redaksinya disusun sendiri o leh nabi, walaupun maknanya dari Allah.
Demikian juga tafsir dan terjemah Al-Quran, tidak dapat disebut Al-Quran.
Ø Ayat – ayat al-qur’an seluruhnya terjaga dari segala bentuk
penambahan dan pengurangan. Hal ini sesuai janji allah yang akan memelihara
al-qur’an itu sendiri
Ø Al-qur’an berfungsi sebagai mukjizat yang dapat melemahkan siapa
saja yang menantangnya.[3]
B.
Dalalah
Al-Qur’an Tentang Hukum-Hukum
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’.
Dan ditrunkan secara mutawattir, sehingga dari sisi ini Al-Quran disebut qath’i al-thsubut. Namun, dari sisi dalalah
Al-Quran tentang hukum tidak semuanya bersifat qath’i , tetapi ada yang
bersifat zhanni.
Definis
Qath’l Yaitu nash
yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai
makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan di
sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba,
pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan
sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut , maknanya jelas dan
tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu dan dalam memahaminya tidak
memerlukan ijtihad. Abdul Wahab Khalaf, 1972 : 35)
Sementara
ayat-ayat zanni adalah nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat
di-takwil atau nash yang
mempunyai makna lebih dari satu, dan merupakan lapangan ijtihad.[4]
Seperti firman
Allah SWT. Dalam surah Al-baqarah, 2:228
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوءٍۚوَلَايَحِلُّلَهُنَّأَنْيَكْتُمْنَمَاخَلَقَاللَّهُفِيأَرْحَامِهِنَّإِنْكُنَّيُؤْمِنَّبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِۚوَبُعُولَتُهُنَّأَحَقُّبِرَدِّهِنَّفِيذَٰلِكَإِنْأَرَادُواإِصْلَاحًاۚوَلَهُنَّمِثْلُالَّذِيعَلَيْهِنَّبِالْمَعْرُوفِۚوَلِلرِّجَالِعَلَيْهِنَّدَرَجَةٌۗوَاللَّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ
Artinya:
Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru
Kata
quru’ dalam ayat ini merupakan lafal musytarak yang mengandung
dua makna, yaitu suci dan haid. Karenanya, karena ketika quru’ diartikan dengan suci sebagaimana ulama syafi’iyyah logis
dan benar karena sesuai dengan makna bahasanya. Implikasinya, wanita-wanita
yang ditalak suaminya memiliki masa iddah (menunggu) selama tiga kali
suci. Sementara, apabila kata quru’ diartikan sebagai haid sebagaimana
yang dipahami ulama hanafiyyah adalah benar dan tepat. Ini berimplikasi dalam
menetapkan masa menunggu bagi wanita yang ditalak suaminya, yaitu tiga kali
haid.
Dari penjelasan ini diketahui ayat-ayat musytarak termasuk
ayat-ayat zanni dalalah. Begitu juga dengan lafad aam dan mutlak
termasuk ayat-ayat zanni yang dapat ditakwil dan menjadi lapangan
ijtihad para ulama.[5]
Imam
asy-syatibi menegaskan bahwa wujud daliln syara’ yang dengan sendirinya dapat
menunjukkan dilalah yang qath’i itu tidak ada atau sangat jarang.
Dalil Syara’ yang qath’i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah yang
qath’i masih tergantung pada premis-premis yang seluruh atau sebagiannya zhanni.
Dalil-dali syara’ yang tergantung pada dalil yang zhanni menjadi zhanni
pula. (Asy-Syatib, 1975, 1:35).
Batasan
Interpretasi Qat’i dan Zanni
Syatibi memberikan pendapat bahwa
jarang sekali dalil-dalil syara’ bila dilihat secara berdiri sendiri (ahad)
yang qat’i. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil
syara’ itu ahad tentu tidak qat’i, melainkan bersifat zanni. Penentuannya
sangat bergantung kepada naql al-luqah dan pendapat-pendapat ahli nahwu.
Syatibi bukan berarti menolak
adanya ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an, tetapi Syatibi sesungguhnya ingin
menyatakan bahwa untuk sampai pada pengertian qat’i al-dalalah sebagai istilah
yang populer dipakai mengalami suatu proses sehingga suatu hukum yang diangkat
dari ayat-ayat itu pada akhirnya disebut qat’i al-dalalah. Menurutnya,
kepastian makna (qat’i al-dalalah) suatu nas berasal dari sekumpulan dalil
zanni (ahad) yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama sehingga satu
sama lain saling mendukung dan memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan dari
himpunan dalil ini membuatnya tidak bersifat zanni lagi yang menjadi semacam
mutawatir ma’nawi. Inilah yang kemudian dinamakan qat’i al-dalalah.
Syatibi mengemukakan contoh
mengenai perintah shalat. Apabila perintah shalat dipahami hanya dari firman
Allah swt. yang potongannya berbunyi “aqimu al-salah”, maka akan bersifat zanni.
Namun, karena didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya pujian
dari Allah bagi orang yang melakukan shalat, celaan dan ancaman bagi yang
meninggalkannya dan perintah kepada mukallaf melakukannya dalam keadaan
bagaimanapun, baik ketika sehat atau sakit, damai atau perang serta dalil-dalil
lain tentang shalat. Kumpulan nas yang semakna dengan ini secara keseluruhan
kemudian disepakati ulama melahirkan ketentuan secara pasti (qat’i) tentang
wajib shalat.
Penjelasan qat’i al-dalalah
tersebut, dapat diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang
menunjukkan untuk suatu makna yang jelas. Qat’i al-dalalah dalam pengertian ini
dapat dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung
kebolehjadian pengertian lain secara pasti”.
Al-Gazali mengemukakan pendapat
yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurut ulama ini,
qat’i al-dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian
perbedaan pendapat semenjak asalnya. Tampaknya yang dimaksud Syatibi bahwa
jarang sekali ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an adalah qat’i yang mengandung
makna yang jelas lagi berdiri sendiri tanpa didukung oleh dalil lain.
Kedua, qat’i al-dalalah dari sisi
bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung
oleh dalil. Dalam ide yang sama al-Gazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang
tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil.
Abdul Wahbah Abdul Salam menyetujui
pendapat yang mendefinisikan zanni al-dalalah sebagai: “Apabila dalalah suatu
lafal tidak menunjukkan untuk makna tertentu, tetapi mengandung kebolehjadian
makna lain, lafal itu sendiri mengandung dua makna atau lebih”. Definisi
tersebut, jelas bahwa nas atau ayat-ayat zanni al-dalalah mengandung
kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad bagi para
ulama untuk menentukan makna mana yang lebih kuat dan dikehendaki oleh ayat
tersebut dengan jalan menafsirkan atau menakwilkannya. Dalam konteks ini,
mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat-ayat zanni
al-dalalah. Ayat-ayat zanni bukan hanya dapat dikaji dari sisi kebahasaan,
tetapi dapat dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang
dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan menggunakan metode
istinbat hukum yang meliputi kias, istihsan, istislah dan ‘urf.[6]
Bentuk-bentuk
Qat’i dan Zanni dalam Nas
1. Bentuk Qat’i dan Zanni dalam al-Qur’an
Ayat-ayat
al-Qur’an dari segi wurud, subut dan penukilannya adalah qat’i. Dengan arti
bahwa seluruh isi al-Qur’an adalah yang diturunkan Allah swt. terhadap
Rasulullah saw. yang disampaikan kepada umatnya dengan penuh amanat tanpa
adanya perubahan sedikitpun.Lalu dinukilkan dengan hafalan dan penulisan hingga
sampai kepada kita dan akan tetap sampai kepada setelah kita dengan pertolongan
Allah swt. yaitu dengan hafalan dan tulisan juga sebagaimana yang telah Allah
swt. turunkan keada rasulNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah
swt.:“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Zikr (al-Qur’an) dan Kamilah yang
menjaganya”.
Al-Qur’an dari
segi dalalah ayatnya terhadap hukum-hukum kemungkinan qat’i dan kemungkinan
juga bersifat zanni. Ayat al-Qur’an yang bersifat qat’i adalah lafal-lafal yang
mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.Seperti
ayat yang berkaitan dengan warisan, hudud dan kaffarat. Contohnya, firman Allah
swt.:
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bahagian seorang anak lalaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan
jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (pembagian-pembagian tersebbut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau sesudah membayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesugguhnya Allah maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Contoh lain yang
terkait dengan kaffarat:“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang
budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya
puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”
Contoh lain
terkait dengan hukuman perzinaan:“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”
Bilangan-bilangan
dalam ketiga ayat di atas—bagian warisan, puasa tiga hari untuk kaffarah sumpah
dan seratus kali dera—menurut para ulama usul fikih, mengandung hukum yang
qat’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.
Adapun ayat-ayat
yang mengandung hukum zanni adalah lafal-lafal dalam al-Qur’an mengandung
pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafaz
musytarak (mengandung pengertian lebih dari satu) seperti dalam firman Allah
swt:
“Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru, tidak boleh
mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim-rahim mereka, jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Kata quru’
merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh
sebab itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, seperti yang dipahami
ulama Syafi’iyyah adalah boleh, dan jika diartikan dengan haid juga boleh seperti
yang dipahami ulama Hanafiyyah.Contoh lain adalah firman Allah swt.:
“Laki-laki yang
mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagimana)
pembalasan bagi apa mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Kata “tangan”
dalam ayat ini mengandung kemungkinan dimaksudkan adalah tangan kanan atau
kiri, juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau
sampai siku. Penjelasan yang dimaksud dengan “tangan” ini ditentukan dalam
hadis Rasulullah saw. Kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini, quru’ dalam
ayat pertama dan “tangan” pada ayat kedua, menurut para ulama usul fikih
bersifat zanni. Oleh sebab itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang
terkuat menurut pandangannya serta didukung oleh dalil lain.
2. Bentuk Qat’i dan Zanni dalam Hadis
Dilihat dari
segi wurudnya maka hadis mutawatir adalah qat’i dari Rasulullah saw. Sebab
cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh para periwayatnya
memberikan keyakinan bahwa berita itu berasal dari Rasulullah saw. Untuk itu,
berita yang dinukil dari Rasulullah saw. dengan jalan mutawatir adalah pasti
(qat’i) maka itu disamakan dengan al-Quran, matannya qat’i sedangkan dalalahnya
adalah zanni.
Hadis mutawatir
tidak terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang kebolehnnya dijadikan
dasar dalam menetapkan hukum, baik dalam masalah keyakinan (i’tiqad) maupun
dalam masalah hukum-hukum praktis (‘amaliyyah), karena baik dari segi
periwayatan maupun dari segi kekuatan hukumnya, hadis seperti ini bersifat qat’i.Adapun
hadis yang tidak sampai kepada tingkat mutawatir maka itu tidak qat’i apabila
dinisbahkan kepada Rasulullah saw. maka tidak tercapai tingkat yakin ditinjau
dari segi subutnya. Sekalipun mutawatir dan ahad bisa saja qat’i pada
dalalahnya dan bisa juga zanni.
Hadis dari segi
subutnya, maka hal itu berbeda dengan al-Qur’an. Al-Qur’an seluruhnya qat’i
al-subut. Sedangkan hadis, sebagian qat’i al-subut dan sebagian yang lain
adalah zanni. Maka dari inilah ulama berbeda terhadap hadis ahad apakah zanni
atau yakin.
Hadis masyhur,
sekalipun periwayatannya di zaman sahabat bersifat ahad, namun pada generasi
sesudah sahabat periwayatannya bersifat mutawatir. Oleh sebab itu, tingkat
kekuatan hadis ini hanya bersifat zanni.Menurut jumhur ulama usul fikih, hadis
masyhur termasuk ke dalam hadis-hadis ahad yang berstatus zanni dan bisa
mentakhsis ayat-ayat yang umum serta mentaqyid ayat-ayat yang mutlak. Akan
tetapi, menurut ulama Hanafiyyah hadis ahad tidak bisa mentakhsis ayat-ayat
al-Qur’an yang umum, sedangkan hadis masyhur bisa mentakhsis al-Qur’an, bisa
mentaqyid ayat-ayat mutlak, persis seperti hadis mutawatir.
Masalah
keyakinan atau aqidah, para ulama juga sepakat mengatakan bahwa hadis ahad
tidak dapat dijadikan sebagai landasan, karena masalah keyakinan harus
ditetapkan dengan sifatnya mutawatir. Akan tetapi, dalam masalah hukum, para
ulama berbeda pendapat dalam menjadikan hadis ahad sebagai landasan hukum.
Perbedaan ini muncul disebutkan status hadis ahad yang bersifat zanni, dari
segi periwayatannya dan dari segi dalalahnya, sekalipun tidak semua hadis ahad
itu zanni al-dalalah.
Jumhur ulama,
pada prinsipnya menerima hadis ahad sebagai landasan menetapkan hukum. Hanya
saja dalam penerapannya ada yang mengemukakan syarat dan ada pula yang
menerimanya tanpa syarat. Ulama Malikiyyah dapat menerima hadis ahad sebagai
landasan menetapkan hukum apabila tidak bertentangan dengan amalan penduduk
Madinah, karena amalan penduduk Madinah menurut mereka, merupakan amalan yang dipraktekkan
banyak orang sejak zaman Rasulullah saw., yang berarti diwarisi dari masa
Rasulullah saw., sampai ke zamannya. Oleh sebab itu, amalan ahli Madinah lebih
didahulukan dari hadis ahad yang hanya diriwayatkan beberapa orang. Mengambil
amalan yang dilakukan banyak orangn sejak zaman Rasulullah saw. sampai ke zaman
Imam Malik, menurut mereka, lebih utama daripada mengamalkan suatu riwayat yang
hanya diriwayatkan beberapa orang.
Ulama
Syafi’iyyah menerima sepenuhnya hadis ahad sebagai landasan hukum apabila
memang hadis itu sahih dan sanadnya bersambung. Oleh sebab itu, ulama
Syafi’iyyah tidak menerima hadis mursal sebagai dalil dalam menetapkan hukum,
kecuali mursalnya itu dari kalangan tabi’in yang populer, karena mereka pada
umumnya bertemu langsung dengan para sahabat, seperti Said bin al-Musayyab di
Madinah dan Hasan al-Basri di Irak.[7]
C. Kedudukan Al-Quran Sebagai Sumber Hukum
Para
ulama dan semua ummat sepakat menjadikan Al-Quran sebagai sumber pertama dan
paling utama bagi syariat islam, termasuk
dalam hukum islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu
hukum harus terlebih dahulu mencari
rujukan kepada Al-Quran.apabila tidak ditemukan dalam Al-Quran, barulah ia
dibenarkan menggunakan dalil-dalil lain.
Penerimaan
ulama dan semua ummat islam menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum pertama
dilatar belakangi sejumlah alasan, di antaranya:
a. Keberadaan al-quran yang di akui secara mutawattir berasal dari
allah yang diturunkan kepada nabi muhammad saw. Melalui perantara malaikat
jibril. Hal ini menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran al-quran
sebagai petunjuk yang diturunkan allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan
sebagai sumbur hukum.
b. Informasi Al-Quran sendiri dijelaskan bahwa ia berasal dari allah,
di antaranya surah An-Nisa’, 4: 105:
إِنَّا
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ
اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya:
Sesungguhnyakami
telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,supaya kamu mengadili
anara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu
menjadi penantang (orang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang
khianat.
c. Kemukjizatan Al-Quran sebagai bukti bahwa
ia bukan berasal dari buatan manusia, tetap berasal dari Allah SWT. Mukjizat
berarti sesuatu yang melemahkan,sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang
sama atau melebihi. Al-Quran adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW. Sebagai bukti
kerasulannya yang di utus untuk menyampaikan risalah kepada ummat manusia,
bukti kemukjizatan Al-Quran adalah dapat dilihat dari ketidakmampuan bangsa
arab dan manusia secara keseluruhan membuat tandingan semisal meskipun Al-Quran
satu ayat saja. Tantangan ini tidak dapat dijawab manusia termasuk bangsa arab
yang terkenal memiliki sastra yang tinggi. Meskipun mereka mepunyai kesempatan
menjawab tantangan itu.[8]
Hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran
secara garis besar dapat di kelompokkan
menjadi tiga macam, yaitu:
Ø
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kenyakinan
atau akidah, seperti masalah keimanan kepada Allah, masalah kenabian, kitab suci, malaikat hari kemudian
dan takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan doktrin aqidah, hukum-hukum
ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin.
Ø
Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia, mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri
seseorang dan menjauhkan diri dari sifat yang membawa kepada kehinaan.
Hukum-hukum yang terkait dengan hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu
akhlak.
Ø
Hukum-hukum ‘amaliyah, yaitu mengatur hubungan manusia dengan Allah yang di sebut dengan hukum ibadah
yang meliputi sholat, puasa, zakat, haji nazdr, sumpah, kurban dan
sebagainya. dan dalam hubungannya
manusia dengan sesama manusia disebut dengan hukum muamalah yang meliputi:
Ø
hukum keluarga (al ahkwalu-ssyakhshiyyah),Adalah
hukum yang berkaitan dengan keluarga, seperti, pernikahan, perceraian, nasab,
perwarisan dan lain-lain. Jumlah ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 70
Ayat.
Ø
hukum perdata (al
ahkam-ulmadaniyyah), Adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan muamalah
maliyah, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan akad-akad lain. Jumlah ayat
yang mengatur masalah ini terdiri dari 70 ayat
Ø
hukum pidana (al ahkam-ul jinaaiyyah),Adalah
masalah-masalah yang berkaitan dengan tindak pidana atau sanksi pidana. Ayat
yang mengatur masalah ini berjumlah 30 ayat.
Ø
hukum acara (ahkam-ul murafa’at), Adalah
masalah-masalah yang berkaitan dengan peradilan, persaksian, dan sumpah. Ayat
yang mengatur masalah ini berjumlah 13 ayat.
Ø
hukum
konstitusional (al ahkam-ul dusturiyyah), Adalah masalah-masalah yang
berkaitan dengan tata pemerintahan, seperti hubungan pemerintah dengan
rakyatnya, hak dan kewajiban pemerintah dan rakyat dan lain-lain. Ayat yang
mengatur masalah ini berjumlah 10 ayat
Ø
hukum internasional (al ahkam-ud duwaliyyah), Adalah
masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antara negara islam dan negara
non islam, perang dan damai dan lain-lain. Ayat yang mengatur masalah ini
berjumlah 25 ayat.
Ø
dan hukum ekonomi dan keuangan(al-ahkam-ul
iqtshadiyyah wal maliyyah), Adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan
ekonomi, seperti devisa negara, penggunaan APBN dan lain-lain. Ayat yang
mengatur masalah ini berjumlah 10 ayat.
Hukum-hukum ini dikaji dan dikembangkan
dalam disiplin ilmu syari’ah. Dari
hukum-hukum ‘amaliyah ini berkembangnya ilmu fiqh. Hukum-hukum amaliyah ini
terdapat di dalam Al-Quran dapat di bagi kepada dua macam, yaitu hukum-hukum
ibadat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum muamalat
yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.[9]
Al-Quran sebagai sumber hukum menurut ulama imam
mazhab:
a. Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa al-Qur’an
merupakan sumber hukum islam. Namun, Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa
al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat
Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan
bahasa selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan
madharat.
b. Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz
dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk, karena kalam Allah termasuk
sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan
al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata,
“Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan
al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan kupenggal leher orang itu.”
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf
(Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan al-Qur’an sesempit mungkin
karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Maka tidak
heran kalau kitabnya, Al-Muwathha dan Al Mudawwanah sarat dengan pendapat
sahabat dan tabi’in. Dan Imam Malik mengikuti jejak mereka dalam cara
menggunakan ra’yu.
c.
Pendapat
Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum
islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa al-Quran tidak bisa dilepaskan
dari as-Sunnah, karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali. Sehingga
seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan
berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat al-Qur’an dengan Sunnah, perlu di
pahami bahwa kedudukan as-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah al-Qur’an,
yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT. Dengan demikian tak
heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan
penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam shalat, nikah dan ibadah lainnya. Beliau
mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan
mengistinbat hukum dari al-Qur’an.
d.
Pandangan
Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa al-Qur’an itu sebagai sumber
pokok hukum islam, yang tidak akan berubah sepanjang masa. Al-Qur’an juga mengandung
hukum-hukum yang bersifat global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, di
samping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama islam. Seperti halnya Imam
As-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di
samping al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum
itu adalah nash, tanpa menyebutkan al-Qur’an dahulu atau as-Sunnah dahulu,
tetapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.[10]
D.
Cara
yang digunakan Al-Quran dalam menjelaskan hukum
Dalam
menjelaskan hukum-hukum, Al-Quran menempuh dua cara, yaitu:
a.
Penjelasan
secara global (mujmal) penjelasan secara global mengambil dua bentuk, yaitu (1)
dengan menyebutkan kaidah dan prinsip-prinsip umum, seperti prinsip musyawarah,
(QS, Al-Syura:38, Ali Imran: 159) prinsip keadilan (Al-Nahl 50, Al-Nisa’:58)
prinsip balasan (Al-An’am:164) Dan lain-lain. (2) dengan menyebutkan ketentuan
hukum secara global seperti perintah zakat (Al-Taubah:103) hukum qishas
(Al-Baqarah:179 dan 178) hukum jual beli dan riba (Al-Baqarah:275). Ayat-ayat
diatas menyebutkan ketentuan huku secara garis besar, sedang penjelasan lebih
rinci diberikan oleh hadist. Sebagian besar hukum-hukum dalam al-quran
dijelaskan secara global. Hal ini mengandung hikmah agar ayat-ayat tersebut
mampu menampung dan menjangkau kasus-kasus baru yang berkembang menyertai
kemajuan yang dicapai ummat manusia. Seandainya semua kasus telah diatur secara
rinci dalam al-quran, niscaya manusia akan terjebak dalam kesempitan, tiap kali
terjadi perkembangan ilmu dan tekhnologi.
b.
Penjelasan secara rinci (tafsil). Hanya
sedikit diantara ayat-ayat al-quran yang menjelaskan hukum secara rinci,
seperti pembagian harta waris, kadar hukum had, tata cara dan bilangan talak,
cara li’an, wanita-wanita yang haram dinikahi dan lain-lain.[11]
BAB 111
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran adalah kitabullah yang merupakan sumber utama ajaran
islam. Di dalamnya terdapat berbagai prinsip dan ajaran dasar islam yang
meliputi, akidah, syariah dan akhlak.
Kitab
suci al-qur’an sebetulnya tidak pernah membisu bila diminta pertimbangan oleh
siapa saja untuk menjawab setiap permasalahan hidupnya. Namun pertimbangan dan
petunjuk al-qur’an itu baru bisa ditangkap jika secara bijak dan cermat dapat
dikenali sifat-sifat dan kandungannya. Kemudian menggunakan metode yang tepat
untuk menggali makna yang terkandung didalamnya.
B.
Kritik Dan Saran
Demikianlah makalahAl-Quran sebagai
metodologi hukum Islam yang kami susun. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan makalah
yang kami susun. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif demi terciptanya kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca maupun penyusun.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin AmirProf. Dr, Metode
Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Jakarta Timur,
Pustaka Setia)
HarahabSyahrin Dr. H, Metodologi
Studi Dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada)
Suwarjin, Usul Fiqh (Yogyakarta,
Teras)
Dahlan Abd Rahman Dr. H.M.A, Ushul
Fiqh, (Jakarta, Pragonatama Jaya)
Syafe’IRachmat Prof. Dr. H, Ilmu Ushul Fiqh,
cet. Ke-4, (CV Pustaka Setia Bandung, 2010)
Syafe’I Rachmat Prof. Dr. H, Ilmu
Ushul Fiqh, cet. Ke-5, (CV Pustaka Setia Bandung, 2015)
[1]Prof. DR. Amir Syarifudin, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam
Secara Komprehensif, (Jakarta Timur, Pustaka Setia), hlm. 17
[2] Dr. H. Syahrin Harahab, Metodologi Studi Dan Penelitian Ilmu-ilmu
Ushuluddin, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 11
[6]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadis, 2002), h.
38-39.
[10]Prof. Dr. H.Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, cet. Ke-4, (CV
Pustaka Setia Bandung, 2010), hlm. 54
[11] Ibid, hlm 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar