Minggu, 27 Mei 2018

AL-QURAN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM


AL-QURAN SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM
                                                           
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
yang diampu olehMoch. Cholid Wardi, M.HI

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1
Taifur Rohmanu (20170703021213)
Abd. Rohim (20170703021001)
Alif Fitrah Fajriadi (20170703021025)
Didik Ariski (20170703021040)
Durrun Nafis (20170703021042









JURUSAN  EKONOMI  DAN  BISNIS  ISLAM
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PAMEKASAN
2017/2018

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua sehingga kita dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan lancar dan tepat pada waktunya, semoga apa yang kita lakukan bisa mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari alam jahiliyah ke alam yang penuh barokah ini. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Keberhasilan makalah ini tidak lain juga disertai referensi-referensi serta bantuan dari pihak-pihak yang bersangkutan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI


Pamekasan, 8 Maret 2018


Penulis Kelompok 1






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1     
A.  Latar Belakang...................................................................................... 1     
B.  Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.  Tujuan................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
A.    Pengertian pengertian Al-Quran ..........................................................  3
B.     Dalalah Al-Quran tentang hukum-hukum............................................ 6
C.     kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum...................................... 9
BAB III PENUTUP......................................................................................... 10
A.    Kesimpulan........................................................................................... 10
B.     Saran..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan sumber hukum dalam Islam. Kata sumber dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an maupun sunnah, karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat ditimba hukum syara’, tetapi tidak mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyas karena memang keduanya merupakan wadah yang dapat dotimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas juga termasuk cara dalam menemukan hukum. Sedangkan dalil adalah bukti yang melengkapi atau memberi petunjuk dalam Al-Qur’an untuk menemukan hukum Allah, yaitu larangan atau perintah Allah.
Apabila terdapat suatu kejadian, maka pertama kali yang harus dicari sumber hukum dalam Al-Qur’an seperti macam-macam hukum di bawah ini yang terkandung dalam Al-Qur’an, yaitu:
1. Hukum-hukum akidah (keimanan) yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dipercaya oleh setiap mukallaf mengenai malaikatNya, kitabNya, para rasulNya, dan hari kemudian (Doktrin Aqoid).
2.Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan oleh setiap mukallaf berupa hal-hal keutamaan dan menghindarkan diri dari hal kehinaan (Doktrin Akhlak).
3.Hukum-hukum amaliah yang bersangkut paut dengan tindakan setiap mukallaf, meliputi masalahucapan perbuatan akad (Contract) dan pembelanjaan pengelolaan harta benda, ibadah, muamalah dan lain-lain


B.     Rumusan Masalah
a.    Apa pengertian Al-Quran ?
b.  Bagaimana dalalah Al-Quran tentang hukum-hukum ?
c.  Bagaimana kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum ?
C.    Tujuan
a. Agar mahasiswa mengetahui pengertian Al-Quran
b. Agar mahasiswa mengetahui dalalahAl-Quran tentang hukum-hukum
c. Agar mahasiswa mengetahuikedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum


BAB 11
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Quran                                                                                      
Al-Quran adalah kitabullah yang merupakan sumber utama ajaran islam. Di dalamnya terdapat berbagai prinsip dan ajaran dasar islam yang meliputi, akidah, syariah dan akhlak. Mengingat pentingnya kedudukan Al-Quran dalam islam, ia menjadi objek kajian utama dan pertama dalam ushul fiqih guna menetapkan suatu hukum.
Secara bahasa, kata Al-Quran merupakan bentuk masdar dari kataقرأ, يقرأ, قراءة, وقراناا , yang  berarti bacaan, berbicara tentang apayang tertulis padanya atau melihat dan menelaah.[1]
Adapun definisi Al-Quran secara terminologi, menurut sebagian ulama’ ushul fiqih adalah sebagai berikut:
كَلاَمُ اللٌهُ تَعَالى اَلْمُنَزَّلُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللَّفْظِ الْعَرَبِيِّ اَلْمَنْقُوْلُ اِلَيْنَا بِالتَوَاتُرِ اَلْمَكْتُوْبُ بِالْمَصَا حِفِ اَلْمُتَعَبَّدُ بِتِلَا وَتِهِ اَلْمَبْدُوْءُ بِالْفَاتِحَةِ وَالْمَحْتُوْمُ بِسُوْرَةِالنَّاسِ.                
Artinya:
kalam allah yang diturunkan kepada nabi muhammad SAW. Dalam bahasa arab Yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf, Dimulai dari surah Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.”
Kitab suci al-qur’an sebetulnya tidak pernah membisu bila diminta pertimbangan oleh siapa saja untuk menjawab setiap permasalahan hidupnya. Namun pertimbangan dan petunjuk al-qur’an itu baru bisa ditangkap jika secara bijak dan cermat dapat dikenali sifat-sifat dan kandungannya. Kemudian menggunakan metode yang tepat untuk menggali makna yang terkandung didalamnya. [2]
Sebagai kitab suci terakhir, Al-Quran memiliki keistimewaan dibandingkan kitab-kitab Allah yang diturunkan sebelumnya. Diantara keistimewaan Al-Quran adalah:
Ø  Al-Quran adalah kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.  Karena itu, kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-nabi sebelumnya tidak disebut Al-Quran dan tidak memiliki keistimewaan yang dimiliki Al-Quran.
Ø  Al-Quran, baik lafadz, maupun maknanya diturunkan oleh Allah dalam bahasa arab. Hal ini membedakan Al-Quran dengan hadist nabi dan hadist qudsi yang redaksinya disusun sendiri o leh nabi, walaupun maknanya dari Allah. Demikian juga tafsir dan terjemah Al-Quran, tidak dapat disebut  Al-Quran.
Ø  Ayat – ayat al-qur’an seluruhnya terjaga dari segala bentuk penambahan dan pengurangan. Hal ini sesuai janji allah yang akan memelihara al-qur’an itu sendiri
Ø  Al-qur’an berfungsi sebagai mukjizat yang dapat melemahkan siapa saja yang menantangnya.[3]
B.     Dalalah Al-Qur’an Tentang Hukum-Hukum                                                          
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara’. Dan ditrunkan secara mutawattir, sehingga dari sisi ini Al-Quran disebut qath’i  al-thsubut. Namun, dari sisi dalalah Al-Quran tentang hukum tidak semuanya bersifat qath’i , tetapi ada yang bersifat zhanni.
Definis Qath’l Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash  itu sendiri. Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris, pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali dera, dan sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut , maknanya jelas dan tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu dan dalam memahaminya tidak memerlukan ijtihad. Abdul Wahab Khalaf, 1972 : 35)
Sementara ayat-ayat zanni adalah nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau nash  yang mempunyai makna lebih dari satu, dan merupakan lapangan ijtihad.[4]
Seperti firman Allah SWT. Dalam surah Al-baqarah, 2:228
وَالْمُطَلَّقَاتُيَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّثَلَاثَةَقُرُوءٍۚوَلَايَحِلُّلَهُنَّأَنْيَكْتُمْنَمَاخَلَقَاللَّهُفِيأَرْحَامِهِنَّإِنْكُنَّيُؤْمِنَّبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِۚوَبُعُولَتُهُنَّأَحَقُّبِرَدِّهِنَّفِيذَٰلِكَإِنْأَرَادُواإِصْلَاحًاۚوَلَهُنَّمِثْلُالَّذِيعَلَيْهِنَّبِالْمَعْرُوفِۚوَلِلرِّجَالِعَلَيْهِنَّدَرَجَةٌۗوَاللَّهُعَزِيزٌحَكِيمٌ
Artinya:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru
Kata quru’ dalam ayat ini merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Karenanya, karena ketika quru’ diartikan  dengan suci sebagaimana ulama syafi’iyyah logis dan benar karena sesuai dengan makna bahasanya. Implikasinya, wanita-wanita yang ditalak suaminya memiliki masa iddah (menunggu) selama tiga kali suci. Sementara, apabila kata quru’ diartikan sebagai haid sebagaimana yang dipahami ulama hanafiyyah adalah benar dan tepat. Ini berimplikasi dalam menetapkan masa menunggu bagi wanita yang ditalak suaminya, yaitu tiga kali haid.
Dari penjelasan ini diketahui ayat-ayat musytarak termasuk ayat-ayat zanni dalalah. Begitu juga dengan lafad aam dan mutlak termasuk ayat-ayat zanni yang dapat ditakwil dan menjadi lapangan ijtihad para ulama.[5]
Imam asy-syatibi menegaskan bahwa wujud daliln syara’ yang dengan sendirinya dapat menunjukkan dilalah yang qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil Syara’ yang qath’i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah yang qath’i masih tergantung pada premis-premis yang seluruh atau sebagiannya zhanni. Dalil-dali syara’ yang tergantung pada dalil yang zhanni menjadi zhanni pula. (Asy-Syatib, 1975, 1:35).
Batasan Interpretasi Qat’i dan Zanni                                                                       
Syatibi memberikan pendapat bahwa jarang sekali dalil-dalil syara’ bila dilihat secara berdiri sendiri (ahad) yang qat’i. Pandangan ini didasarkan kepada prinsip bahwa bila dalil-dalil syara’ itu ahad tentu tidak qat’i, melainkan bersifat zanni. Penentuannya sangat bergantung kepada naql al-luqah dan pendapat-pendapat ahli nahwu.
Syatibi bukan berarti menolak adanya ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an, tetapi Syatibi sesungguhnya ingin menyatakan bahwa untuk sampai pada pengertian qat’i al-dalalah sebagai istilah yang populer dipakai mengalami suatu proses sehingga suatu hukum yang diangkat dari ayat-ayat itu pada akhirnya disebut qat’i al-dalalah. Menurutnya, kepastian makna (qat’i al-dalalah) suatu nas berasal dari sekumpulan dalil zanni (ahad) yang semuanya mengandung kemungkinan makna yang sama sehingga satu sama lain saling mendukung dan memiliki kekuatan tersendiri. Kekuatan dari himpunan dalil ini membuatnya tidak bersifat zanni lagi yang menjadi semacam mutawatir ma’nawi. Inilah yang kemudian dinamakan qat’i al-dalalah.    
Syatibi mengemukakan contoh mengenai perintah shalat. Apabila perintah shalat dipahami hanya dari firman Allah swt. yang potongannya berbunyi “aqimu al-salah”, maka akan bersifat zanni. Namun, karena didukung oleh sejumlah dalil lain yang menjelaskan adanya pujian dari Allah bagi orang yang melakukan shalat, celaan dan ancaman bagi yang meninggalkannya dan perintah kepada mukallaf melakukannya dalam keadaan bagaimanapun, baik ketika sehat atau sakit, damai atau perang serta dalil-dalil lain tentang shalat. Kumpulan nas yang semakna dengan ini secara keseluruhan kemudian disepakati ulama melahirkan ketentuan secara pasti (qat’i) tentang wajib shalat.                                                                                   
Penjelasan qat’i al-dalalah tersebut, dapat diamati dari dua sisi, yaitu: pertama, suatu lafal yang menunjukkan untuk suatu makna yang jelas. Qat’i al-dalalah dalam pengertian ini dapat dipahami definisi berikut: “suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian pengertian lain secara pasti”.                                                        
Al-Gazali mengemukakan pendapat yang sama dengan ini, meskipun dalam rumusan yang berbeda. Menurut ulama ini, qat’i al-dalalah adalah suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat semenjak asalnya. Tampaknya yang dimaksud Syatibi bahwa jarang sekali ayat-ayat qat’i dalam al-Qur’an adalah qat’i yang mengandung makna yang jelas lagi berdiri sendiri tanpa didukung oleh dalil lain.
Kedua, qat’i al-dalalah dari sisi bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian makna lain yang didukung oleh dalil. Dalam ide yang sama al-Gazali pun menyatakan bahwa suatu lafal yang tidak mengandung kebolehjadian perbedaan pendapat yang didukung oleh dalil.                                                  
Abdul Wahbah Abdul Salam menyetujui pendapat yang mendefinisikan zanni al-dalalah sebagai: “Apabila dalalah suatu lafal tidak menunjukkan untuk makna tertentu, tetapi mengandung kebolehjadian makna lain, lafal itu sendiri mengandung dua makna atau lebih”.        Definisi tersebut, jelas bahwa nas atau ayat-ayat zanni al-dalalah mengandung kemungkinan lebih dari satu makna sehingga merupakan lapangan ijtihad bagi para ulama untuk menentukan makna mana yang lebih kuat dan dikehendaki oleh ayat tersebut dengan jalan menafsirkan atau menakwilkannya. Dalam konteks ini, mungkin sekali terjadi perbedaan pendapat ulama dalam memahami ayat-ayat zanni al-dalalah. Ayat-ayat zanni bukan hanya dapat dikaji dari sisi kebahasaan, tetapi dapat dikaji untuk selanjutnya dikembangkan dari sisi substantif yang dikandungnya. Untuk mencapai maksud ini, dilakukan dengan menggunakan metode istinbat hukum yang meliputi kias, istihsan, istislah dan ‘urf.[6]
Bentuk-bentuk Qat’i dan Zanni dalam Nas
1. Bentuk Qat’i dan Zanni dalam al-Qur’an
Ayat-ayat al-Qur’an dari segi wurud, subut dan penukilannya adalah qat’i. Dengan arti bahwa seluruh isi al-Qur’an adalah yang diturunkan Allah swt. terhadap Rasulullah saw. yang disampaikan kepada umatnya dengan penuh amanat tanpa adanya perubahan sedikitpun.Lalu dinukilkan dengan hafalan dan penulisan hingga sampai kepada kita dan akan tetap sampai kepada setelah kita dengan pertolongan Allah swt. yaitu dengan hafalan dan tulisan juga sebagaimana yang telah Allah swt. turunkan keada rasulNya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.:“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Zikr (al-Qur’an) dan Kamilah yang menjaganya”.
Al-Qur’an dari segi dalalah ayatnya terhadap hukum-hukum kemungkinan qat’i dan kemungkinan juga bersifat zanni. Ayat al-Qur’an yang bersifat qat’i adalah lafal-lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.Seperti ayat yang berkaitan dengan warisan, hudud dan kaffarat. Contohnya, firman Allah swt.:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lalaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebbut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau sesudah membayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesugguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Contoh lain yang terkait dengan kaffarat:“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”
Contoh lain terkait dengan hukuman perzinaan:“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”
Bilangan-bilangan dalam ketiga ayat di atas—bagian warisan, puasa tiga hari untuk kaffarah sumpah dan seratus kali dera—menurut para ulama usul fikih, mengandung hukum yang qat’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.
Adapun ayat-ayat yang mengandung hukum zanni adalah lafal-lafal dalam al-Qur’an mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwilkan. Misalnya, lafaz musytarak (mengandung pengertian lebih dari satu) seperti dalam firman Allah swt:
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru, tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim-rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Kata quru’ merupakan lafal musytarak yang mengandung dua makna, yaitu suci dan haid. Oleh sebab itu, apabila kata quru’ diartikan dengan suci, seperti yang dipahami ulama Syafi’iyyah adalah boleh, dan jika diartikan dengan haid juga boleh seperti yang dipahami ulama Hanafiyyah.Contoh lain adalah firman Allah swt.:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagimana) pembalasan bagi apa mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
Kata “tangan” dalam ayat ini mengandung kemungkinan dimaksudkan adalah tangan kanan atau kiri, juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku. Penjelasan yang dimaksud dengan “tangan” ini ditentukan dalam hadis Rasulullah saw. Kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini, quru’ dalam ayat pertama dan “tangan” pada ayat kedua, menurut para ulama usul fikih bersifat zanni. Oleh sebab itu, para mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta didukung oleh dalil lain.
2. Bentuk Qat’i dan Zanni dalam Hadis
Dilihat dari segi wurudnya maka hadis mutawatir adalah qat’i dari Rasulullah saw. Sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh para periwayatnya memberikan keyakinan bahwa berita itu berasal dari Rasulullah saw. Untuk itu, berita yang dinukil dari Rasulullah saw. dengan jalan mutawatir adalah pasti (qat’i) maka itu disamakan dengan al-Quran, matannya qat’i sedangkan dalalahnya adalah zanni.
Hadis mutawatir tidak terdapat perbedaan pendapat para ulama tentang kebolehnnya dijadikan dasar dalam menetapkan hukum, baik dalam masalah keyakinan (i’tiqad) maupun dalam masalah hukum-hukum praktis (‘amaliyyah), karena baik dari segi periwayatan maupun dari segi kekuatan hukumnya, hadis seperti ini bersifat qat’i.Adapun hadis yang tidak sampai kepada tingkat mutawatir maka itu tidak qat’i apabila dinisbahkan kepada Rasulullah saw. maka tidak tercapai tingkat yakin ditinjau dari segi subutnya. Sekalipun mutawatir dan ahad bisa saja qat’i pada dalalahnya dan bisa juga zanni.
Hadis dari segi subutnya, maka hal itu berbeda dengan al-Qur’an. Al-Qur’an seluruhnya qat’i al-subut. Sedangkan hadis, sebagian qat’i al-subut dan sebagian yang lain adalah zanni. Maka dari inilah ulama berbeda terhadap hadis ahad apakah zanni atau yakin.
Hadis masyhur, sekalipun periwayatannya di zaman sahabat bersifat ahad, namun pada generasi sesudah sahabat periwayatannya bersifat mutawatir. Oleh sebab itu, tingkat kekuatan hadis ini hanya bersifat zanni.Menurut jumhur ulama usul fikih, hadis masyhur termasuk ke dalam hadis-hadis ahad yang berstatus zanni dan bisa mentakhsis ayat-ayat yang umum serta mentaqyid ayat-ayat yang mutlak. Akan tetapi, menurut ulama Hanafiyyah hadis ahad tidak bisa mentakhsis ayat-ayat al-Qur’an yang umum, sedangkan hadis masyhur bisa mentakhsis al-Qur’an, bisa mentaqyid ayat-ayat mutlak, persis seperti hadis mutawatir.
Masalah keyakinan atau aqidah, para ulama juga sepakat mengatakan bahwa hadis ahad tidak dapat dijadikan sebagai landasan, karena masalah keyakinan harus ditetapkan dengan sifatnya mutawatir. Akan tetapi, dalam masalah hukum, para ulama berbeda pendapat dalam menjadikan hadis ahad sebagai landasan hukum. Perbedaan ini muncul disebutkan status hadis ahad yang bersifat zanni, dari segi periwayatannya dan dari segi dalalahnya, sekalipun tidak semua hadis ahad itu zanni al-dalalah.
Jumhur ulama, pada prinsipnya menerima hadis ahad sebagai landasan menetapkan hukum. Hanya saja dalam penerapannya ada yang mengemukakan syarat dan ada pula yang menerimanya tanpa syarat. Ulama Malikiyyah dapat menerima hadis ahad sebagai landasan menetapkan hukum apabila tidak bertentangan dengan amalan penduduk Madinah, karena amalan penduduk Madinah menurut mereka, merupakan amalan yang dipraktekkan banyak orang sejak zaman Rasulullah saw., yang berarti diwarisi dari masa Rasulullah saw., sampai ke zamannya. Oleh sebab itu, amalan ahli Madinah lebih didahulukan dari hadis ahad yang hanya diriwayatkan beberapa orang. Mengambil amalan yang dilakukan banyak orangn sejak zaman Rasulullah saw. sampai ke zaman Imam Malik, menurut mereka, lebih utama daripada mengamalkan suatu riwayat yang hanya diriwayatkan beberapa orang.
Ulama Syafi’iyyah menerima sepenuhnya hadis ahad sebagai landasan hukum apabila memang hadis itu sahih dan sanadnya bersambung. Oleh sebab itu, ulama Syafi’iyyah tidak menerima hadis mursal sebagai dalil dalam menetapkan hukum, kecuali mursalnya itu dari kalangan tabi’in yang populer, karena mereka pada umumnya bertemu langsung dengan para sahabat, seperti Said bin al-Musayyab di Madinah dan Hasan al-Basri di Irak.[7]
C.     Kedudukan Al-Quran Sebagai Sumber Hukum                                                     
Para ulama dan semua ummat sepakat menjadikan Al-Quran sebagai sumber pertama dan paling  utama bagi syariat islam, termasuk dalam hukum islam. Atas dasar ini seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu hukum  harus terlebih dahulu mencari rujukan kepada Al-Quran.apabila tidak ditemukan dalam Al-Quran, barulah ia dibenarkan menggunakan dalil-dalil lain.
Penerimaan ulama dan semua ummat islam menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum pertama dilatar belakangi sejumlah alasan, di antaranya:
a.    Keberadaan al-quran yang di akui secara mutawattir berasal dari allah yang diturunkan kepada nabi muhammad saw. Melalui perantara malaikat jibril. Hal ini menimbulkan keyakinan kuat kepada umat akan kebenaran al-quran sebagai petunjuk yang diturunkan allah kepada manusia sehingga pantas dijadikan sebagai sumbur hukum.
b.    Informasi Al-Quran sendiri dijelaskan bahwa ia berasal dari allah, di antaranya surah An-Nisa’, 4: 105:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ ۚ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya:
Sesungguhnyakami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,supaya kamu mengadili anara manusia dengan apa yang telah allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.
c.    Kemukjizatan Al-Quran sebagai bukti bahwa ia bukan berasal dari buatan manusia, tetap berasal dari Allah SWT. Mukjizat berarti sesuatu yang melemahkan,sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi. Al-Quran adalah mukjizat Nabi Muhammad SAW. Sebagai bukti kerasulannya yang di utus untuk menyampaikan risalah kepada ummat manusia, bukti kemukjizatan Al-Quran adalah dapat dilihat dari ketidakmampuan bangsa arab dan manusia secara keseluruhan membuat tandingan semisal meskipun Al-Quran satu ayat saja. Tantangan ini tidak dapat dijawab manusia termasuk bangsa arab yang terkenal memiliki sastra yang tinggi. Meskipun mereka mepunyai kesempatan menjawab tantangan itu.[8]                                                        
Hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran secara garis besar dapat di kelompokkan  menjadi tiga macam, yaitu:
Ø  Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kenyakinan atau akidah, seperti masalah keimanan kepada Allah, masalah  kenabian, kitab suci, malaikat hari kemudian dan takdir serta hal-hal yang berhubungan dengan doktrin aqidah, hukum-hukum ini menjadi lapangan kajian ilmu tauhid atau ushuluddin.
Ø  Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan manusia, mengenai berbagai sifat utama yang harus menjadi perhiasan diri seseorang dan menjauhkan diri dari sifat yang membawa kepada kehinaan. Hukum-hukum yang terkait dengan hal ini merupakan ruang lingkup kajian ilmu akhlak.
Ø  Hukum-hukum ‘amaliyah, yaitu mengatur  hubungan manusia  dengan Allah yang di sebut dengan hukum ibadah yang meliputi sholat, puasa, zakat, haji nazdr, sumpah, kurban dan sebagainya. dan dalam  hubungannya manusia  dengan sesama manusia  disebut dengan hukum muamalah yang meliputi:
Ø  hukum keluarga (al ahkwalu-ssyakhshiyyah),Adalah hukum yang berkaitan dengan keluarga, seperti, pernikahan, perceraian, nasab, perwarisan dan lain-lain. Jumlah ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 70 Ayat.
Ø   hukum perdata (al ahkam-ulmadaniyyah), Adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan muamalah maliyah, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan akad-akad lain. Jumlah ayat yang mengatur masalah ini terdiri dari 70 ayat
Ø  hukum pidana (al ahkam-ul jinaaiyyah),Adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan tindak pidana atau sanksi pidana. Ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 30 ayat.
Ø  hukum acara (ahkam-ul murafa’at), Adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan peradilan, persaksian, dan sumpah. Ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 13 ayat.
Ø   hukum konstitusional (al ahkam-ul dusturiyyah), Adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan tata pemerintahan, seperti hubungan pemerintah dengan rakyatnya, hak dan kewajiban pemerintah dan rakyat dan lain-lain. Ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 10 ayat
Ø  hukum internasional (al ahkam-ud duwaliyyah), Adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antara negara islam dan negara non islam, perang dan damai dan lain-lain. Ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 25 ayat.
Ø  dan hukum ekonomi dan keuangan(al-ahkam-ul iqtshadiyyah wal maliyyah), Adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan ekonomi, seperti devisa negara, penggunaan APBN dan lain-lain. Ayat yang mengatur masalah ini berjumlah 10 ayat.
Hukum-hukum ini dikaji dan dikembangkan dalam disiplin ilmu syari’ah.  Dari hukum-hukum ‘amaliyah ini berkembangnya ilmu fiqh. Hukum-hukum amaliyah ini terdapat di dalam Al-Quran dapat di bagi kepada dua macam, yaitu hukum-hukum ibadat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan hukum-hukum muamalat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.[9]
Al-Quran sebagai sumber hukum menurut ulama imam mazhab:                       
a.    Pandangan Imam Abu Hanifah                                                                   
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum islam. Namun, Imam Abu Hanifah itu berpendapat bahwa al-Quran itu mencakup maknanya saja. Diantara dalil yang menunjukan pendapat Imam Abu Hanifah tersebut, bahwa dia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madharat.                                      
b.    Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat al-Quran adalah kalam Allah yang lafadz dan maknanya dari Allah SWT. Ia bukan makhluk, karena kalam Allah termasuk sifat Allah. Imam Malik juga sangat menentang orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an secara murni tanpa memakai atsar, sehingga beliau berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan al-Qur’an (dengan daya nalar murni), maka akan kupenggal leher orang itu.”
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti Ulama Salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang membatasi pembahasan al-Qur’an sesempit mungkin karena mereka khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWT. Maka tidak heran kalau kitabnya, Al-Muwathha dan Al Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Dan Imam Malik mengikuti jejak mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
c.    Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum islam yang paling pokok, dan beranggapan bahwa al-Quran tidak bisa dilepaskan dari as-Sunnah, karena hubungan antara keduanya sangat erat sekali. Sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada pada satu martabat, namun bukan berarti Imam Syafi’i menyamakan derajat al-Qur’an dengan Sunnah, perlu di pahami bahwa kedudukan as-Sunnah itu adalah sumber hukum setelah al-Qur’an, yang mana keduanya ini sama-sama berasal dari Allah SWT. Dengan demikian tak heran bila Imam Syafi’i dalam berbagai pendapatnya sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam shalat, nikah dan ibadah lainnya. Beliau mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi mereka yang mau memahami dan mengistinbat hukum dari al-Qur’an.
d.   Pandangan Imam Ahmad Ibnu Hambal
Imam Ibnu Hambal berpendapat bahwa al-Qur’an itu sebagai sumber pokok hukum islam, yang tidak akan berubah sepanjang masa. Al-Qur’an juga mengandung hukum-hukum yang bersifat global dan penjelasan mengenai akidah yang benar, di samping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama islam. Seperti halnya Imam As-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa Sunnah mempunyai kedudukan yang kuat di samping al-Qur’an sehingga tidak jarang beliau menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan al-Qur’an dahulu atau as-Sunnah dahulu, tetapi yang dimaksud Nash tersebut adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.[10]
D.    Cara yang digunakan Al-Quran dalam menjelaskan hukum
Dalam menjelaskan hukum-hukum, Al-Quran menempuh dua cara, yaitu:
a.    Penjelasan secara global (mujmal) penjelasan secara global mengambil dua bentuk, yaitu (1) dengan menyebutkan kaidah dan prinsip-prinsip umum, seperti prinsip musyawarah, (QS, Al-Syura:38, Ali Imran: 159) prinsip keadilan (Al-Nahl 50, Al-Nisa’:58) prinsip balasan (Al-An’am:164) Dan lain-lain. (2) dengan menyebutkan ketentuan hukum secara global seperti perintah zakat (Al-Taubah:103) hukum qishas (Al-Baqarah:179 dan 178) hukum jual beli dan riba (Al-Baqarah:275). Ayat-ayat diatas menyebutkan ketentuan huku secara garis besar, sedang penjelasan lebih rinci diberikan oleh hadist. Sebagian besar hukum-hukum dalam al-quran dijelaskan secara global. Hal ini mengandung hikmah agar ayat-ayat tersebut mampu menampung dan menjangkau kasus-kasus baru yang berkembang menyertai kemajuan yang dicapai ummat manusia. Seandainya semua kasus telah diatur secara rinci dalam al-quran, niscaya manusia akan terjebak dalam kesempitan, tiap kali terjadi perkembangan ilmu dan tekhnologi.
b.     Penjelasan secara rinci (tafsil). Hanya sedikit diantara ayat-ayat al-quran yang menjelaskan hukum secara rinci, seperti pembagian harta waris, kadar hukum had, tata cara dan bilangan talak, cara li’an, wanita-wanita yang haram dinikahi dan lain-lain.[11]

BAB 111
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran adalah kitabullah yang merupakan sumber utama ajaran islam. Di dalamnya terdapat berbagai prinsip dan ajaran dasar islam yang meliputi, akidah, syariah dan akhlak.
Kitab suci al-qur’an sebetulnya tidak pernah membisu bila diminta pertimbangan oleh siapa saja untuk menjawab setiap permasalahan hidupnya. Namun pertimbangan dan petunjuk al-qur’an itu baru bisa ditangkap jika secara bijak dan cermat dapat dikenali sifat-sifat dan kandungannya. Kemudian menggunakan metode yang tepat untuk menggali makna yang terkandung didalamnya.

B.     Kritik Dan Saran
Demikianlah makalahAl-Quran sebagai metodologi hukum Islam yang kami susun. Kami menyadari masih terdapat banyak kesalahan makalah yang kami susun. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi terciptanya kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca maupun penyusun.

DAFTAR PUSTAKA
Syarifudin AmirProf. Dr, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Jakarta Timur, Pustaka Setia)
HarahabSyahrin Dr. H, Metodologi Studi Dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada)
Suwarjin, Usul Fiqh (Yogyakarta, Teras)
Dahlan Abd Rahman Dr. H.M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Pragonatama Jaya)
Syafe’IRachmat Prof. Dr. H, Ilmu Ushul Fiqh, cet. Ke-4, (CV Pustaka Setia Bandung, 2010)
Syafe’I Rachmat Prof. Dr. H, Ilmu Ushul Fiqh, cet. Ke-5, (CV Pustaka Setia Bandung, 2015)





[1]Prof. DR. Amir Syarifudin, Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Jakarta Timur, Pustaka Setia), hlm. 17
[2] Dr. H. Syahrin Harahab, Metodologi Studi Dan Penelitian Ilmu-ilmu Ushuluddin, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada), hlm. 11
[3] Suwarjin, Usul Fiqh (Yogyakarta, Teras), hlm. 55
[4]Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M.A, Ushul Fiqh, (Jakarta, Pragonatama Jaya), hlm. 122
[5]Ibid, hlm. 31
[6]Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Hadis, 2002), h. 38-39.
[7]Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqh (Kairo: Dar al-Fikri al-‘Arabi, 2006), hlm. 104.
[8]Ibid, hlm. 20
[9]Ibid, hlm. 21
[10]Prof. Dr. H.Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, cet. Ke-4, (CV Pustaka Setia Bandung, 2010), hlm. 54
[11] Ibid, hlm 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar