HADIST
SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhitugas mata
kuliah
Ushul
Fiqh yang diampu
oleh Bapak
Moch. Cholid Wardi, M.H.I
Oleh kelompok 2:
1.
Firgiawan Istanto
2.
Ifan Sugianto
3.
Ivan Hidayatur Rahman
4.
Moh. Ervani al fajri
5.
Zainul Amin
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
PAMEKASAN
2018
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, Wr. Wb.
Bismillahirrohmanirrohiim.
Alhamdulillahi rabbil
alamin.
Puji
syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Serta semoga shalawat dan
salam tetap terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah yang berjudul “Hadist Sebagai
Sumber Metodologi Hukum Islam”.
Penyusun menyadari tanpa bantuan
dari semua pihak, penulisan makalah ini mungkin tidak akan terlaksana. Oleh
karena itu, penyusun mengucapkan terimakasih kepada:
1. Moch.
Cholid Wardi, M.H.I selaku dosen pengampu yang telah memberikan pengarahan dan
koreksi sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah
ditentukan.
2. Teman
teman semua yang telah memberikan motivasinya serta semua pihak yg telah
membantu terselesainya penyusunan makalah ini.
Penyusun
menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
karena keterbatasan kemampuanyang penyusun miliki.Oleh karena itu, penyusun
mohon kritik dan sarannya. Demikian,
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Amiin.Yaa
robbal’aalamiin.
Wassalamu’alaikum,
wr.wb.
Pamekasan, 15 Maret 2018
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3
A. Pengertian
hadis........................................................................................ 3
B. Fungsi
hadis.............................................................................................. 3
C. Kategorisasi
sunnah................................................................................... 4
D. Pembagian
Hadis dari wurudnya.............................................................. 5
E. Kedudukan
Hadis mursal.......................................................................... 7
F. Posisi
Sunnah dan Relasinya dengan Al-Quran........................................ 7
G. Dilalah
Hadis............................................................................................. 8
H. Kedudukan
Sunnah terhadap Al-Quran................................................... 8
I. Kehujjahan
Hadis...................................................................................... 9
J. Unsur-Unsur
Hadis................................................................................... 11
K. Hadis
masyhur........................................................................................... 11
L. Perbedaan
Sunnah dan Hadis................................................................... 12
M. Perbuatan
Nabi.......................................................................................... 13
N. Munkirus
Sunnah...................................................................................... 14
O. Alasan
Sunnah di Jadikan sebagai Sumber Hukum Islam........................ 16
BAB III PENUTUP............................................................................................ 19
A. Kesimpulan................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sunnah atau hadits bermakna jalan yang terang atau jalan yang
ditempuh, juga digunakan untuk menyatakan prektek yang bersifat normatik atau
perilaku yang mapan. Ia bisa berarti teladan yang baik atau bisa juga berarti
contoh yang buruk yang diperlihatkan baik oleh individu, kelompok ataupun
masyarakat. Pada zaman arab pra-islam orang-orang arab menggunakan kata
“Hadits” untuk menyebut praktek kuno dan berlaku terus-menerus dari masyarakat
yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, konon suku-suku arab
pra-islam memiliki sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari
indentitas mereka.
Sunnah merupakan sumber syari’ah kedua setelah Al-qur’an, maka mujtahid harus melihat urutan prioritas antara Al-qur’an dan Sunnah atau Hadits. Oleh karenanya, dalam upaya mencari jalan keluar terhadap masalah tertentu ahli hukum baru boleh menggunakan hadits setelah gagal mendapatkan pedomannya dalam Al-qur’an. Apabila ada nash yang jelas dalam Al-qur’an, maka nash itu haru diikuti dan diberikan prioritas di atas ketentuan yang boleh jadi tidak selaku dengan Al-qur’n.
Untuk lebih jelasnya maka kami akan membahas hadits secara terperinci.
Sunnah merupakan sumber syari’ah kedua setelah Al-qur’an, maka mujtahid harus melihat urutan prioritas antara Al-qur’an dan Sunnah atau Hadits. Oleh karenanya, dalam upaya mencari jalan keluar terhadap masalah tertentu ahli hukum baru boleh menggunakan hadits setelah gagal mendapatkan pedomannya dalam Al-qur’an. Apabila ada nash yang jelas dalam Al-qur’an, maka nash itu haru diikuti dan diberikan prioritas di atas ketentuan yang boleh jadi tidak selaku dengan Al-qur’n.
Untuk lebih jelasnya maka kami akan membahas hadits secara terperinci.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian hadis?
2. Apa saja fungsi hadis?
3. Apa saja kategorisasi hadis?
4. Bagaimana pembagian hadis dari segi
wurudnya?
5. Bagaimana kedudukan hadis mursal?
6. Bagaimana posisi dan relasi Sunnah dengan
al quran?
7. Bagaimana dilalah hadis?
8. Bagaimana kedudukan hadis terhadap
al-quran?
9. Apakah semua hadis sudah hujjah?
10. Apa saja Unsue-Unsur hadis?
11. Apakah definisi dari hadis masyhur?
12. Apakah perbedaan Sunnah dan hadis?
13. Apa saja perbuatan nabi?
14. Apa itu munkirus Sunnah?
15. Apakah alasan Sunnah di jadikan sebagai
sumber hukum?
C. Tujuan
1. Dapat mengetahui pengertian hadis
2. Dapat mengetahui fungsi hadis
3. Dapat mengetahui kategorisasi hadis
4. Dapat mengetahui pembagian hadis dari segi
wurudnya
5. Dapat mengetahui kedudukan hadis mursal
6. Dapat mengetahui posisi Sunnah dan relasi
terhadap al-quran
7. Dapat mengetahui dilalah hadis
8. Dapat mengetahui keduduka hadis terhadap
al-quran
9. Dapat mengetahui kehujahan hadis
10. Dapat mengetahui Unsur-Unsur hadis
11. Dapat mengetahui definisi hadis masyhur
12. Dapat mengetahui perbedaan Sunnah dan hadis
13. Dapat mengetahui apa saja perbuatan nabi
14. Dapat mengetahui apa itu munkirussunnah
15. Dapat mengetahui alasan Sunnah di jadikan
sebagai sumber hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sunnah
Kata sunnah berasal
dari huruf ”sin” dan “nun” yang berarti
mengalir atau berlalunya sesuatu dengan mudah. Secara etimologis, hadis berarti jalan atau tata
cara yang telah mentradisi. Sedangkan secara terminologi pengertian hadis bisa di lihat dari tiga di siplin
ilmu:
1.
Ilmu
hadis,para ahli hadis mengidentikan sunah dengan hadis, yaitu segala sesuatu
yang di sandarkan kepada nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya.
2.
Ilmu
ushul fiqh, pengertian Sunnah menurut ulama ahli ushul fiqh adalah segala
sesuatu yang di riwayatkan dari nabi SAW. berupa perbuatan, perkataan, dan
ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3.
Ilmu
fiqih, pengertian Sunnah menurut ahli fiqih hampir sama dengan pengertian yang di kemukakan oleh para
ahli ushul fiqh, akan tetapi istilah Sunnah dalam fiqih juga di maksudkan
sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan
mendapatkan pahala apabila di kerjakan dan tidak berdosa apabila di tinggalkan.[1]
B. Fungsi
Hadis
Hadis
merupakan
sumber hukum islam yang kedua setelah Al Qur’an. Dari sisi legalitas, kedudukan
sunnah berada satu tingkat di bawah Al Qur’an. Menurut Abdul Mustaqim, fungsi
sunnah itu ada tiga macam yaitu sebagai
penjelas terhadap hukum hukum Al Qur’an. Tiga fungsi tersebut di jelaskan secara
rinci sebagai berikut.
a)
Bayan ta’kid, sunnah
sebagai ta’qid dan taqrir. Dalam hal ini, sunnah menguatkan dan menegaskan
hukum hukum yang tersebut dalam Al
Qur’an. Sunnah hanya seperti mengulang apa
yang telah dinyatakan dalam Al Qur’an.
b)
Bayan tafsir, bayan
tafsir adalah Al Qur’an sebagai penjelas terhadap hukum hukum dalam Al Qur’an
dalam hal berikut:
1)
Menjelaskan arti yang
masih samar dala Al Qur’an.
2)
Merinci apa apa yang
dalam Al Qur’an disebutkan secara umum.
3)
Membatasi apa apa yang
dalam Al Qur’an disebutkan secara umum.
4)
Memperluas maksud dari
sesuatu yang tersebut dalam Al Qur’an.
c)
Bayan tasyri’, sunnah
menetapkan hukun yang belum di tetapkan dalam Al Qur’an. Pada fungsi ini,
sunnah berdiri sendiri karena hukum yang diputuskan oleh sunnah belum terdapat
dalam ayat ayat Al Qur’an.[2]
C. Kategorisasi Sunnah
Dari segi materinya ,
sunnah dapat di bedakan menjadi 3 macam yaitu:
1. Sunnah qauliyyah
adalah
bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang berisi berbagai
tuntunan dan petunjuk syara’,
peristiwa-peristiwa atau kisah-kisah, baik yang berkenaan dengan aspek akidah,
syariah maupun akhlak. Contohnya:
ذَنْبِهِمِنْتَقَدَّمَمَالَهُغُفِرَوَاحْتِسَابًاإِيمَانًارَمَضَانَصَامَمَنْ
”Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan
mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
2. Sunnahfi’liyyah
Yakni segala
perbuatan yang di praktikkan Nabi, seperti praktik sholat, praktik haji dan praktik
peradilan yang di tunjukan beliau.
3.
sunnah
taqririyyah
Yakni segala
perbuatan dan perkataan yang muncul dari sahabat, yang di ketahui oleh Nabi,
tetapi beliau diam saja dan tidak memberikan komentar persetujuan dan
penolakan, contoh-contohnya sebagai berikut.
a)
Sejumlah sahabat
menyantap hidangan daging biawak di hadapan Nabi dan beliau diam saja dan tidak
memeberikan penolakan maupun persetujuan
b)
Amru bin al-Ash
pernah mengimami sholat jamaah di tengah upaya pergerakan pasukan muslim untuk perang Dzat al-Salasil,
padahal ia sedang junub atau berbalas besar lantaran mimpi bersetubuh , dan karena
cuaca sangat dingin ia hanya bertayamum untuk keperluan shalat tersebut. Ketika
mendapat kabar tentang hal ini, nabi hanya tersenyum saja tidak memberikan
komentar penolakan atau persetujuan.
c)
Aisyah pernah
menonton sejumlah orang habsyi yang bermain di sekitar masjid madinah, dan nabi
mengetahui tindakan aisyah itu, tetapi beliau diam saja dan tidak memberikan
komentar penolakan atau persetujuan.[3]
D.
Pembagian Hadis
dari segi wurudnya
Dari segi wurudnya Hadis menurut jumhur ulama dapat di
bedakan menjadi 2 macam yaitu:
a)
Hadist mutawattir
Adalah sunnah yang di
riwayatkan oleh sekelompok besar orang pada setiap lapisan sanadnya, sejak awal
lapisan sanad hingga akhir
lapisannya, yang tidak memungkinkan mereka bersepakat
untuk berdusta misalnya sabda Nabi
فَمَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa berdusta
atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR.
mutafaqqun alaih)
Kualitas kemutawattiran itu di bedakan menjadi 2
macam: Mutawattir lafdzi dan mutawattir ma’nawi. Adapun mutawattir lafdzi
terjadi apabila kualitas kemutawattirannya tidak hanya terletak pada sanad,
tetapi juga pada tataran redaksionalnya (matan). Hadist mutafaqqun alaih di
atas merupakan contoh hadist mutawattir lafdzi.
Sedangkan mutawattir ma’nawi terjadi apabila kualitas
ke mutawattiran nya hanya terletak pada sanad dan ungkapan redaksionalnya
berbeda antara satu perawi dengan perawi lainnya tetapi semuanya memiliki titik
kesatuan dan kepaduan makna pokok
contohnya: hadist tentang tindakan Nabi mengangkat kedua tangan dalam
berdoa.
b)
Hadist ahad
Adalah sunnah
yang di riwayatkan oleh orang perseorangan atau sejumlah kecil orang, baik pada lapisan
sanadnya maupun sebagian sanadnya . Hadis ahad di bedakan menjadi 3 varian:
1.
Hadist shahih adalah hadist yang bersambung
sanadnya, yang di riwayatkan oleh orang-orang
yang adil dan dabit serta tidak terdapat ke janggalan di dalamnya
2.
Hadist hasan
adalah hadist yang bersambung sanadnya, yang di riwayatkan oleh orang-orang
yang adil dan kurang dabit serta tidak ada kejangggalan dan cacat
3. Hadist
dhaif menurut Imam Al-Baiquni adalah:Setiap hadis yang
tingkatannya berada dibawah hadits hasan (tidak memenuhi syarat
sebagai hadisshahih maupun hasan).[4]
E.
Kedudukan
hadis mursal
Terdapat perbedaan pandangan
antar ulama ushul fiqh dan ulama hadits mengenai pengertian hadis mursal,
menurut ulama hadis , hadis mursal adalah hadis yang di dalamnya terdapat
indikasi yang menunjukkan perawi tab’iy langsung meriwayatkan hadist dari
Rasulullah, misalnya, seorang perawi tab’iy berkata, nabi telah bersabda:
begini dan begitu. Manakala sesuatu di riwayatkan secara demikian, inilah yang
di sebut hadis mursal menurut pandangan ulama hadis.
Para ulama hadis membedakan hadis mursal dengan hadis
munqati’dan hadis mu’dal. Hadis mun qati’ adalah hadis yang di dalam sanadnya
gugur satu orang perawi atau lebih tanpa berturut-turut. Sedangkan hadis
mu’dal adalah hadis yang di dalam
sanadnya gugur dua orang perawi atau lebih pada satu lapisan sanad saja.
Adapun para ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis
mursal mempunyai cakupan lebih luas di banding yang di pahami oleh ulama hadis.
Mengenai posisi hadis mursal dalam dalam struktur
sumber hukum islam, para ulama syafi’iyah berpendapat bahwa hadis mursal di
bedakan menjadi dua macam yaitu:
a). mursal sahabiy dapat di terima sebagai hujjah
syar’iyah secara mutlak,
F.
Posisi sunnah dan Relasinya
dengan Al-quran
Para ulama berbeda pendapat
mengenai posisi sunnah dalam struktur sumber hukum Islam seperti berikut:
a) Golongan ulama Hanafiyyah,ulama
Malikiyyah,dan ulama Zahiriyyah
Berpendapat bahwa sunnah yang memepunyai
kedudukan yang sederajat dan setara dengan Al-quran; sehingga apabila terjadi
pertentangan maknawi yang di eksplisit antara suatu subbah dan suatu ayat
Al-quran maka yang terahir munculnya diantara keduanya dia anggap menasakh yang
terdahulu munculnya
b) Golongan
ulama Syafi’iyyah
Berpendapat
bahwa dalam struktur sumber hukum Islam, posisi sunnah setingkat di
bawah Al-quran; sehingga sunnah tidak mampu menasak Al-quran, dan apabila
muncul pertentangan makanawi yang ekspilit antara sunnah dan dan ayat Al-quran, yang tidak bias
di kompromikan maknanya maka hakikatnya tentang hal ini.[6]
G. Dilalah hadis
Ditinjau dari
segipentunjuknya (dilalah), hadis sama dengan al-qur’an, yaitu bisa qath’iah
dilalah dan bisa zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang
qat’i dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati bagian tersebut, namun dalam aplikasinya
berbeda-beda.
Dalam kaitannya
antara nisbath as-sunnah terhadap al-quran, para Ulama sepakat bahwa as-sunnah
berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam al-quran dan juga sebagai
penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan as-sunah
terhadap al-quran. apabila
as-sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat al-quran.[7]
H. Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Quran
Sunnah merupakan
sumber-sumber kedua setelah
al-quran.Karena sunnah merupakan penjelas dari al-quran, maka yang di jelaskan
berkedudukan lebih
tinggi daripada yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan sunnah terhadap
al-quran sekurang kurangnya ada tiga hal berikut:
1.
Sunnah
sebagai ta’kid (penguat) Al-quran.
Hukum islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu al –quran dan sunah.
Tidak heran kalau banyak sekali sunnah yg menerangkan tentang kewajiban shalat,zakat,puasa,larangan
musyrik,dan lain-lain.
2.
Sunnah
sebagai penjelas al –quran
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Telah
Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diturunkan
kepada mereka supaya mereka terfikir. (QS. An- nahl : 44)
Maka jelaslah
bahwa sunnah berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam
al-quran, sehingga dapat mengilangkan kekeliruan dalam memahami al-quran.
3.
Sebagai
musyar’i (pembuat syari’at)
Sunah tidak diragukan
lagi merupakan pembuat syariat dari yang tidak ada dalam al-quran, misalnya di
wajibkannya zakat fitrah, disunnahkan aqiqah dan lain-lain. Dalam hal ini, para
ulama berbeda pendapat:
1.
sunah
itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam al-quran.
2.
sunah
tidak membuat hal-hal baru yang tidak ada dalam al-quran, tetapi hanya membuat
hal-hal yang ada dalam landasan al-quran.[8]
I.
KehujjahanHadis
Semua ulama menyepakati
kehujjahan hadis muttawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi
hadis ahad, yaitu hadis yang di
wirayatkan
dari rasulluallah saw. Oleh seseorang dua orang atau jamaah namun tidak
tercapai derajat mutawatir.
1.
Kehujjahan
hadis ahad
Para ulama telah sepakat tentang
kejujjahan hadis ahad jika benar dan yakin berasal dari rasulluallah saw. Dan
telah di sepakati oleh para sahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya.
Pernyataan di atas telah di sepakati oleh
para ulama daari semua golongan, kecuali golongan mu’tazilah. Pendapat kaum
mu’tazilah tersebut bisa di pandang sebagai pendapat yang keliru, karena mereka
telah mengingkari sebagai ketetapan yang berkembang dan sesuai dengan al-quran.
Alasan golongan yang tidak menerima hadis
ahad karena menurut mereka, para sahabat
juga tidak menerimanya. Seperti hadis yang di wirayatkan oleh Malik bin sihab
dari Qubidah bin dzu’eb, bahwa seorang nenek mendatangi Abu bakar dan berkata,
“dan sesungguhnya aku mempunyai hak atas harta putra dan putri anakku yang
telah meninggal” dan telah diamalkan dalam sunah rosul ? kembalilah, semua
orang yang lainnya pun meminta” . Maka orang lainnyapun
meminta. Kemudian mugirah bin syukbaah berkata,” sesungguhnya rasulullah telah
memberinya seperenam.” Abu bakar berkata.” Apakah engkau memiliki saksi yang
lain? Ya muhamammad bin musallamah Al-Anshary membenarkannya maka Abu bakar pun
memberikan kepada nenek tersebut seperenam.”
Menurut mereka hadis tersebut menunjukkan
bahwa abu bakar tidak menerima hadis ahad, yakni dari mugirah bin syukbah,
kecuali setelah mengeceknya kepada muhammad bin mussallammah
Sebagai jawaban terhadap argumen di atas,
pada kenyataanya para ulama menggunkan hadis ahad dalam menetapkaan berbagai
hukum dan fatwa, dan membatalkan sebagi macam hukum apabila bertentangan dengan
hadis ahad. Seandainya ada di antara mereka yang tidak mengamalkan sebagian
hadis ahad, mereka tidak bisa meng kelaim
secara
keseluruhan. Selain itu, penyebab mereka
tidak mengamalkan hadis ahad semata mata ke hati hatian mereka saja supaya
tidak menyalahi al-quran dan sunah. Sebagai contoh, abu bakar tidak ragu lagi
untuk melaksanakan hadis yang dibawa oleh mugirah setelah di perkuat oleh
muhammad bin musallamah.[9]
J.
Unsur-Unsur hadis
Sebagai gambaran umum hadis itu mempunyai tiga unsur
pokok, yaitu sanad, matan, dan rawi. Pemaparan unsur-unsur pokok hadis secara
luas dapat di baca dalam kitab-kitab ilmu hadis, namun sebagai pengantar
sederhana, mari kita perhatikan contoh hadis di bawah ini.
عن عاءشة رضي الله عنها قا لت قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم من احدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهورد (رواه البخاري ومسلم)
Keterangan:
1. aisyah itu di sebut sanad
2. mulai man ahdzatsa sampai fahuaraddun
di sebut matan
K.
Hadis Masyhur
Hadis masyhur mustafidz adalah hadis yang diriwayatkan dari nabi
muhammad saw. Oleh para sahabat atau sekelompok orang banyak yang tidak
sampai pada batas mutawatir, kemudian diriwayatkan
pada masa tabi’in oleh sejumlah orang yang sampai pada batas mutawatir.
Contohnya adalah seperti
hadis yang diriwayatkan oleh umar bin khathab dari rasululullah SAW.:
انما الاعمال بالنيات
Artinya:” sesungguhnya segala amal itu (pahalanya) bergantung
kepada niatnya”
Perbedaan antara hadis
mutawatir dengan hadis masyhur adalah bahwa hadis mutawatir diriwayatkan dengan
cara mutawatir pada tiga masa, sedangkan hadis masyhur tidak diriwayatkan
secara mutawatir kecuali pada masa tabi’in dan tabi’it tabi’in
Hadis masyhur tidak memfaedahkan qath’i dan
adanya keyakinan bahwa riwayat itu datang dari rasulullah SAW. Hanya
memfaedahkan tuma’ninah (menentramkan hati ) dan zhan (persangkaan kuat). Maka
martabatnya pun turun lebih rendah sedikit dari pda martabat hadis mutawatir.
Hadis masyhur tidak memfaedahkan qath’i sebagaimana hadis mutawatir karena
tidak adanya sifat mutawatir pada orang
yang mendengar dari rasulullah SAW. Selain itu hadis masyur tidak memfaedahkan
zhan karena sudah positif diriwayatkan
dari sahabatnya, yang merupakan orang-orang kepercayaan dalam
meriwayatkan sesuatu dari rasulullaah SAW. Maka hadis masyhur menempati hukum
hadis mutawatir dalam hal wajib mengamalkan. Tetapi al-jasas, ulama fiqih dari
golongan hanafiyah menjadikan hadis masyhur masuk ke dalam hadis mutawatir.[11]
L. Perbedaan
sunnah dan hadis
Sebagian
besar kalangan berpandangan bahwa sunnah
dan hadis merupakan dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga
sering digunakan secara bergantian untuk menyebut segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW. Akan tetapi, kalau ditinjau secara cermat dan
mendalam dari beberapa literatur menunjukkan bahwa keduanya merupakan hal yang
berbeda.
Kata
hadis berasal dari huruf ha, dal, dan sin yang berarti adanya
sesuatu setelah tidak adanya, atau jadid (yang baru) dari qadim (yang
lama). Selain itu, hadis juga berarti khabar (berita) atau kalam (pembicaraan)
baik verbal maupun lewat tulisan. Pembicaraan sebagai arti hadis ini telah
dikenal oleh masyarakat Arab zaman jahiliah, yakni ketika mereka. mengatakan
hari-hari mereka yang terkenal dengan sebutan ahadis (buah pembicaraan).
F.A. Klein, sebagaimana dikutip oleh
mushadi ham, membedakan bahwa sunnah secara tepat menunjuk kepada model
perilaku, praktik, ucapan, dan ketetapan nabi, sedangkan hadis menunjuk kepada
cerita, laporan atau rekaman tentang hal yang sama. Dalam kaitan ini juga,
hasbi menyatakan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang diceritakan kepada
rasulullah, sedangkan sunnah adalah sesuatau yang telah biasa dilakukan oleh
kaum muslim sejak dahulu baik ia diceritakan atau tidak. Syech mahmudunnasir
menyatakan bahawa perbedaan arti awal antara sunnah dan hadis adalah bahwa
sunnah meneruskan seluruh ruang lingkup tradisi yang terkenal, praktik yang
telah mapan dan kebiasaan umat islam yang telah disepakati, sementara hadis
adalah cerita tentang hukum-hukum yang tetap dan pasti yang diucapkan oleh Nabi
SAW.
Perbedaan lain adalah hadis merupakan
amr ‘ilmiy nawadhir (sesuatu yang bersifat teoretis), sedangkan sunnah
adalah’amr ‘amaliy (sesuatu yang bersifat praktis), atau hadis sebagai tradisi
verbal sedangkan sunnah sebagai tradisi praktikal. Secara lebih lengkap
goldziher menyatakan,”...hadis sebagaimana telah ditunjukkan telah mempunyai
arti suatu komunkasi lisan yang berasal dari Nabi SAW., sedangkan sunnah adalah
istilah yang digunakan masyarakat muslim awal untuk menunjuk pada
praktik-praktik keagamaan atau ketentuan hukum, tanpa memandang apakah hal itu terdapat
atau tidak dalam tradisi lisan...
Berdasarkan paparan dari beberapa ahli
diatas dapat ditarik satu garis kesimpulan mengenai perbedaan antara hadis
dengan sunnah. Sunnah adalah tradisi yang bersumber dari Nabi SAW., sedangkan
hadis adalah berita, laporan, cerita tentang tradisi yang dilakukan oleh Nabi
SAW.[12]
M.
Pebuatan
Nabi (أفعال
النبي)
Perbuatan nabi dapat beraneka ragam bentuknya. Hal ini dapat di lihat
dari kedudukan nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan allah. Perbuatan
nabi di bagi menjadi 3 macam yaitu :
Pertama, perbuatan
nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah di kerjakan oleh manusia pada umumnya
seperti, cara makan dan minum, berobat, duduk, cara berpakaian, memelihara
jenggot dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat nabi sebagai manusia
biasa. Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan nabi seperti itu
dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk di ikuti. Tetapi sebagian
ulama yang lain, mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan nabi seperti itu tidak
berdampak hukum dengan demikian tidak harus di ikuti.
Kedua, perbuatan
nabi yang hanya wajib di lakukan oleh nabi tetapi tidak wajib bagi umatnya seperti nabi wajib shalat dhuha,
tahajjud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah
wajib.
Ketiga, perbuatan
nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-quran seperti
tentnag tata cara sholat,puasa, haji, jual beli, dan utang piutang, maka semua
perbuatan itu berdampak kepada pebuatan hukum bukan hanya bagi nabi tetapi juga
bagi umatnya.[13]
N.
Munkirus
Sunnah
Pada zaman nabi (w. 632 M), umat islam sepakat bahwa
Sunnah merupakah salah satu sumber ajaran islam di samping al quran. Tidak ada
bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman nabi ada dari kalangan umat
islam yang menolak Sunnah sebagaai salah satu sumber ajaran islam. Bahkan pada
masa al- khulafa’ al- rasyidin (632-661 M) dan bani umayyah (661-750 M), belum
terlihat secara jelas adanya kalangan umat islam yang menolak sunnah sebagai
salah satu sumber ajaran islam. Barulah pada awal masa abbasiyah (750-1258 M),
muncul secara jelassekelompok kecil umat
islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Mereka itu
kemudian di kenal sebagai orang-orang berpaham inkar al-sunnah.
Sesudah zaman al-syafi’I sampai saat ini, baik secara
terselubung maupun secara terang-terangan, mereka yang berpaham inkar
al-sunnah,baik yang mereka ingkari itu seluruh Sunnah maupun sebagian saja,
muncul di berbagai tempat, misalnya di mesir, (antara lain doktor Taufiq Sidqy;
w. 1920); di
malaysia (Kassim Ahmad, mantan Ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia);
dan di Indonesia (antara lain Muhammad
Irham Sutanto).
Cukup banyak argumen yang telah di kemukakan oleh mereka yang berpaham
inkar al sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman as-syafi’i maupun yang
hidup pada zaman sesudahnya. Dari beberapa argument yang banyak itu, ada yang
berupa argument-argumen naqli dan ada yang berupa argument non-naqli.
1.
Argument
Naqli
Cukup banyak argumen naqli yang mereka ajukan namun yang terpenting
ialah sebagai berikut:
a.
Al-quran
surat An-Nahl : 89 berbunyi:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu al-kitab (al-quran) untuk
menjelaskan sesuatu“
b.
Al-quran
surat Al-An’am: 38 berbunyi:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ
شَيْءٍ ۚ
Artinya: “Tiadalah kami alpakan sessuatu pun di dalam al-kitab“
Menurut para pengingkar Sunnah, kedua ayat tersebut
menunjukkan bahwa al-quran telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan
ketentuan agama. Dengan demikian, tidak di perlukan adanya keterangan lain,
misalnya dari Sunnah. Menurut mereka, salat lima waktu sehari-semalam yang
wajib di dirikan dan yang sehubungan dengannya, dasarnya bukanlah Sunnah atau
hadis, melainkan ayat-ayat Al-quran, misalnya S. Al-Baqarah: 238, Hud: 114,
Al-Isra’: 78 dan 110, Taha: 130, Al-Hajj:77, Al-Nur:58, Al-Rum: 17-18. Dengan
demikian menurut para pengingkar Sunnah, tata cara sholat tidaklah penting,
jumlah rakaat, cara duduk, cara sujud, ayat dan bacaan yang di baca di serahkan
kepada masing-masing pelaku sholat. Jadi ibadah sholat boleh saja di lakukan
dengan menggunakan bahsa daerah masing-masing.
Dari argument yang di kemukakan di atas dapat di
pahami bahwa para pengingkar Sunnah yang ,engajukan argument itu adalah
orang-orang yan
berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk
menjelaskan Al-quran kepada umatnya. Nabi Muhammad hanyalah bertugas untuk
menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya. Di luar hal
itu , Nabi Muhammad tidak memiliki wewenang.
2.
Argumen
Non-Naqli
Argumen non-naqli yang di ajukan
oleh para pengingkar Sunnah, diantaranya yang terpenting adalah sebagai
berikut:
a.
Al-quran
di wahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad (melalui malaikat jibril) dalam
Bahasa arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan Bahasa arab mampu memahami
al-quran secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadis nabi. Dengan
demikian hadis nabi tidak di perlukan untuk memahami petunjuk al-quran.
b.
Dalam
sejarah, umat islam mengalami kemunduran. Umat islam mundur karena umat islam
terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat islam berpegang kepada hadis
nabi. Jadi menurut para pengingkar Sunnah, hadis nabi merupakan sumbr
kemunduran umat islam; agar umat islam maju, maka umat islam harus meninggalkan
hadis nabi.
c.
Menurut
doktor Taufiq shidqi, tiada satu pun hadis nabi
yang di catat pada zaman nabi. Pencatatan hadis terjadi setelah nabi
wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk
mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi.[14]
O.
Alasan
Sunnah di jadikan sebagai Sumber Hukum
Alasan
sunnah di jadikan sebagai sumber hukum salah satunya dapat di lihat dari
segi kewajiban umat islam mematuhi dan meneledani Rasulullah saw.Melalui
al-quran, Allah
SWT
memerintahkan kepada kita untuk menempatkan kepatuhan kepadanya sama dengan
kepatuhan kepada rasulnya. Allah SAW berfirman dalam surah an-nisa’(4): 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ
أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Artinya: “barang
siapa yang menaati rasulullah, susungguhnya ia telah menaati allah dan barang
siapa yang berpaling (dari keadaan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka”.
Demikian
juga dalam surah an-nisa’ (4): 59:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “hai orang-orang yang
beriman, taatilah allah dan taatilah rasulullah, dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada allah (al-quran) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”.
Di samping itu, selain Allah SWT memuji akhlak Rasulullah saw. Sebagaimana
terdapat dalam surah al-Qalam (68): 4:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: “dan sesungguhnya kamu
benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
Allah juga memerintahkan umat islam untuk meneladani Rasulullah, sebagai
syarat untuk mendapatkan surga pada hari kiamat kelak, sebagaimana terdapat
dalam surat al-ahzab (33): 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: “sesungguhnya
telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang-orang yang mengharap (rahmat) allah dari (kedatangan) hari kimat dan dia
banyak menyebut allah saw”.
Berdasarkan kutipan ayat-ayat di atas, menjadi sangat
jelaskepatuhan kepada Allah SWT tidak dapat di pisahkan dari kepatuhan kepada Rasulullah
saw. Dalam pada itu,
tentu saja mematuhi dan meneladani Rasulullah saw berarti pula mengikuti
aturan-aturan hukum yang ditetapkan beliau. Bahkan al-quran menegaskan,
keimanan seseorang tergantung pada kepatuhan seseorang kepada
keputusan-keputusan hukum yang di tetapkan rasulullah saw.[15]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis adalah apa-apa
yang berasal dari Rasulullah baik perkataan atau pun taqrirnya. Hadis merupakan
sumber hokum islam yang kedua setelah alquran karena hadis dapat menguatkan
suatu hukum yang tersebut dalam al-quran sehingga hukum itu ada dua yaitu ayat
yang menetapkan dan sunah yang menguatkan, menjelaskan al-quran dan dapat
menetapkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al-quran.
Sunah ada 3 yaitu: a.
Sunnah qauliyah b.) Sunnah fi’liyah
c.)Sunnah taqririyah
DAFTAR PUSTAKA
Suyatno. DASAR-DASAR ILMU FIQIH DAN USHUL FIQH.
Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2011.
Asnawi. Perbandungan Ushul Fiqh. Jakarta:
AMZAH, 2011.
Syafe’i Rachmat. ILMU USHUL FIQIH. Bandung: CV
PUSTAKA SETIA, 2015.
Hakim, Atang Abd dan Jaih Mubarak. METOOLOGI STUDI
ISLAM. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2015.
Shidiq, Sapiudin.
USHUL FIQH. Jakarta: KENCANA, 2017.
Uman,
Chairul, dkk. USHUL FIQH. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 1998.
SYUHUDI
ISMAIL, M.HADIS NABI MENURUT PEMBELA PENGINGKAR DAN PEMALSUNYA. Jakarta:
GEMA INSANI PRESS, 1995.
Rahman
Dahlan, Abd. USHUL FIQH. Jakarta:
AMZAH, 2014.
[3]Asnawi,Perbandingan Ushul Fiqh,(Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 40
[4]Ibid hlm. 67
[5]Ibid hlm. 69
[6]Ibid hlm. 45
[8]Ibid hlm. 66
[9]Ibid hlm. 60
[10]Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarak, METODOLOGI
STUDI ISLAM, (Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA, 2015), hlm. 94
[11]Chairul uman, dkk, USHUL FIQH, (Bandung: CV.
PUSTAKA SETIA, 1998), hlm.68
[12]Suyatno, DASAR-DASAR ILMU FIQIH DAN USHUL FIQH,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2011), hlm. 96
[13]Sapiudin shidiq, USHUL FIQH, (Jakarta: KENCANA,
2017), hlm. 56
[14]M. SYUHUDI ISMAIL, HADIS NABI MENURUT
PEMBELA PENGINGKAR DAN PEMALSUNYA, (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1995),
hlm.16
[15]Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, (Jakarta: AMZAH,
2014), hlm. 138
Tidak ada komentar:
Posting Komentar