Minggu, 27 Mei 2018

HADIST SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM


HADIST SEBAGAI SUMBER METODOLOGI HUKUM ISLAM

MAKALAH

Disusun untuk memenuhitugas mata kuliah
Ushul Fiqh yang diampu oleh Bapak
Moch. Cholid Wardi, M.H.I


Oleh kelompok 2:
                                                1. Firgiawan Istanto
                                                2. Ifan Sugianto
                                                3. Ivan Hidayatur Rahman
                                                4. Moh. Ervani al fajri
                                                5. Zainul Amin
                                               



PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PAMEKASAN
2018

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr. Wb.
           
            Bismillahirrohmanirrohiim.
Alhamdulillahi rabbil alamin.
Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Serta semoga shalawat dan salam  tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Hadist Sebagai Sumber Metodologi Hukum Islam”.
            Penyusun menyadari tanpa bantuan dari semua pihak, penulisan makalah ini mungkin tidak akan terlaksana. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terimakasih kepada:
1.      Moch. Cholid Wardi, M.H.I selaku dosen pengampu yang telah memberikan pengarahan dan koreksi sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.
2.      Teman teman semua yang telah memberikan motivasinya serta semua pihak yg telah membantu terselesainya penyusunan makalah ini. 

Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini, karena keterbatasan kemampuanyang penyusun miliki.Oleh karena itu, penyusun mohon kritik dan sarannya. Demikian,  Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuanya.
Amiin.Yaa robbal’aalamiin.
Wassalamu’alaikum, wr.wb.
Pamekasan, 15 Maret 2018



Kelompok 2



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A.    Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan........................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................... 3  
A.    Pengertian hadis........................................................................................ 3
B.     Fungsi hadis.............................................................................................. 3
C.     Kategorisasi sunnah................................................................................... 4
D.    Pembagian Hadis dari wurudnya.............................................................. 5
E.     Kedudukan Hadis mursal.......................................................................... 7
F.      Posisi Sunnah dan Relasinya dengan Al-Quran........................................ 7
G.    Dilalah Hadis............................................................................................. 8
H.    Kedudukan Sunnah terhadap Al-Quran................................................... 8
I.       Kehujjahan Hadis...................................................................................... 9
J.       Unsur-Unsur Hadis................................................................................... 11
K.    Hadis masyhur........................................................................................... 11
L.     Perbedaan Sunnah dan Hadis................................................................... 12
M.   Perbuatan Nabi.......................................................................................... 13
N.    Munkirus Sunnah...................................................................................... 14
O.    Alasan Sunnah di Jadikan sebagai Sumber Hukum Islam........................ 16
BAB III PENUTUP............................................................................................ 19
A.    Kesimpulan................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 20





BAB I

PENDAHULUAN



A.    Latar belakang

Sunnah atau hadits bermakna jalan yang terang atau jalan yang ditempuh, juga digunakan untuk menyatakan prektek yang bersifat normatik atau perilaku yang mapan. Ia bisa berarti teladan yang baik atau bisa juga berarti contoh yang buruk yang diperlihatkan baik oleh individu, kelompok ataupun masyarakat. Pada zaman arab pra-islam orang-orang arab menggunakan kata “Hadits” untuk menyebut praktek kuno dan berlaku terus-menerus dari masyarakat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Oleh karena itu, konon suku-suku arab pra-islam memiliki sunnah masing-masing yang dianggap sebagai dasar dari indentitas mereka.
Sunnah merupakan sumber syari’ah kedua setelah Al-qur’an, maka mujtahid harus melihat urutan prioritas antara Al-qur’an dan Sunnah atau Hadits. Oleh karenanya, dalam upaya mencari jalan keluar terhadap masalah tertentu ahli hukum baru boleh menggunakan hadits setelah gagal mendapatkan pedomannya dalam Al-qur’an. Apabila ada nash yang jelas dalam Al-qur’an, maka nash itu haru diikuti dan diberikan prioritas di atas ketentuan yang boleh jadi tidak selaku dengan Al-qur’n.
Untuk lebih jelasnya maka kami akan membahas hadits secara terperinci.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian hadis?
2.      Apa saja fungsi hadis?
3.      Apa saja kategorisasi hadis?
4.      Bagaimana pembagian hadis dari segi wurudnya?
5.      Bagaimana kedudukan hadis mursal?

6.      Bagaimana posisi dan relasi Sunnah dengan al quran?
7.      Bagaimana dilalah hadis?
8.      Bagaimana kedudukan hadis terhadap al-quran?
9.      Apakah semua hadis sudah hujjah?
10.  Apa saja Unsue-Unsur hadis?
11.  Apakah definisi dari hadis masyhur?
12.  Apakah perbedaan Sunnah dan hadis?
13.  Apa saja perbuatan nabi?
14.  Apa itu munkirus Sunnah?
15.  Apakah alasan Sunnah di jadikan sebagai sumber hukum?

C.     Tujuan
1.      Dapat mengetahui pengertian hadis
2.      Dapat mengetahui fungsi hadis
3.      Dapat mengetahui kategorisasi hadis
4.      Dapat mengetahui pembagian hadis dari segi wurudnya
5.      Dapat mengetahui kedudukan hadis mursal
6.      Dapat mengetahui posisi Sunnah dan relasi terhadap al-quran
7.      Dapat mengetahui dilalah hadis
8.      Dapat mengetahui keduduka hadis terhadap al-quran
9.      Dapat mengetahui kehujahan hadis
10.  Dapat mengetahui Unsur-Unsur hadis
11.  Dapat mengetahui definisi hadis masyhur
12.  Dapat mengetahui  perbedaan Sunnah dan hadis
13.  Dapat mengetahui apa saja perbuatan nabi
14.  Dapat mengetahui apa itu munkirussunnah
15.  Dapat mengetahui alasan Sunnah di jadikan sebagai sumber hukum?






BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pengertian Sunnah
Kata sunnah berasal dari huruf  ”sin” dan “nun” yang berarti mengalir atau berlalunya sesuatu dengan mudah. Secara etimologis, hadis berarti jalan atau tata cara yang telah mentradisi. Sedangkan secara terminologi pengertian hadis bisa di lihat dari tiga di siplin ilmu:
1.      Ilmu hadis,para ahli hadis mengidentikan sunah dengan hadis, yaitu segala sesuatu yang di sandarkan kepada nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
2.      Ilmu ushul fiqh, pengertian Sunnah menurut ulama ahli ushul fiqh adalah segala sesuatu yang di riwayatkan dari nabi SAW. berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3.      Ilmu fiqih, pengertian Sunnah menurut ahli fiqih hampir sama dengan pengertian yang di kemukakan oleh para ahli ushul fiqh, akan tetapi istilah Sunnah dalam fiqih juga di maksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala apabila di kerjakan dan tidak berdosa apabila di tinggalkan.[1]

B.  Fungsi Hadis
Hadis merupakan sumber hukum islam yang kedua setelah Al Qur’an. Dari sisi legalitas, kedudukan sunnah berada satu tingkat di bawah Al Qur’an. Menurut Abdul Mustaqim, fungsi sunnah itu ada tiga macam  yaitu sebagai penjelas terhadap hukum hukum Al Qur’an. Tiga fungsi tersebut di jelaskan secara rinci sebagai berikut.
a)        Bayan ta’kid, sunnah sebagai ta’qid dan taqrir. Dalam hal ini, sunnah menguatkan dan menegaskan hukum hukum yang tersebut dalam Al

Qur’an. Sunnah hanya seperti mengulang apa yang telah dinyatakan dalam Al Qur’an.
b)        Bayan tafsir, bayan tafsir adalah Al Qur’an sebagai penjelas terhadap hukum hukum dalam Al Qur’an dalam hal berikut:
1)        Menjelaskan arti yang masih samar dala Al Qur’an.
2)        Merinci apa apa yang dalam Al Qur’an disebutkan secara umum.
3)        Membatasi apa apa yang dalam Al Qur’an disebutkan secara umum.
4)        Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al Qur’an.
c)        Bayan tasyri’, sunnah menetapkan hukun yang belum di tetapkan dalam Al Qur’an. Pada fungsi ini, sunnah berdiri sendiri karena hukum yang diputuskan oleh sunnah belum terdapat dalam ayat ayat Al Qur’an.[2]

C.      Kategorisasi Sunnah

Dari segi materinya , sunnah dapat di bedakan menjadi 3 macam yaitu:

1.    Sunnah qauliyyah
     adalah bentuk perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, yang berisi berbagai tuntunan dan petunjuk syara, peristiwa-peristiwa atau kisah-kisah, baik yang berkenaan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak. Contohnya:
ذَنْبِهِمِنْتَقَدَّمَمَالَهُغُفِرَوَاحْتِسَابًاإِيمَانًارَمَضَانَصَامَمَنْ
Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni”. (HR. Bukhari dan Muslim)


2.    Sunnahfi’liyyah
Yakni segala perbuatan yang di praktikkan Nabi, seperti praktik sholat, praktik haji dan praktik peradilan yang di tunjukan beliau.
3.    sunnah taqririyyah
Yakni segala perbuatan dan perkataan yang muncul dari sahabat, yang di ketahui oleh Nabi, tetapi beliau diam saja dan tidak memberikan komentar persetujuan dan penolakan, contoh-contohnya sebagai berikut.
a)      Sejumlah sahabat menyantap hidangan daging biawak di hadapan Nabi dan beliau diam saja dan tidak memeberikan penolakan maupun persetujuan
b)      Amru bin al-Ash pernah mengimami sholat jamaah di tengah upaya pergerakan  pasukan muslim untuk perang Dzat al-Salasil, padahal ia sedang junub atau berbalas besar lantaran mimpi bersetubuh , dan karena cuaca sangat dingin ia hanya bertayamum untuk keperluan shalat tersebut. Ketika mendapat kabar tentang hal ini, nabi hanya tersenyum saja tidak memberikan komentar penolakan atau persetujuan.
c)      Aisyah pernah menonton sejumlah orang habsyi yang bermain di sekitar masjid madinah, dan nabi mengetahui tindakan aisyah itu, tetapi beliau diam saja dan tidak memberikan komentar penolakan atau persetujuan.[3]

D.      Pembagian Hadis dari segi wurudnya
            Dari segi wurudnya Hadis menurut jumhur ulama dapat di bedakan menjadi 2 macam yaitu:
a)    Hadist  mutawattir
Adalah sunnah yang di riwayatkan  oleh sekelompok besar orang  pada setiap lapisan sanadnya, sejak awal lapisan sanad hingga akhir

lapisannya, yang tidak memungkinkan mereka bersepakat untuk berdusta misalnya sabda Nabi
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. mutafaqqun alaih)
Kualitas kemutawattiran itu di bedakan menjadi 2 macam: Mutawattir lafdzi dan mutawattir ma’nawi. Adapun mutawattir lafdzi terjadi apabila kualitas kemutawattirannya tidak hanya terletak pada sanad, tetapi juga pada tataran redaksionalnya (matan). Hadist mutafaqqun alaih di atas merupakan contoh hadist mutawattir lafdzi.

Sedangkan mutawattir ma’nawi terjadi apabila kualitas ke mutawattiran nya hanya terletak pada sanad dan ungkapan redaksionalnya berbeda antara satu perawi dengan perawi lainnya tetapi semuanya memiliki titik kesatuan dan kepaduan makna pokok  contohnya: hadist tentang tindakan Nabi mengangkat kedua tangan dalam berdoa.

b)      Hadist ahad
Adalah  sunnah yang di riwayatkan  oleh orang perseorangan  atau sejumlah kecil orang, baik pada lapisan sanadnya maupun sebagian sanadnya . Hadis ahad di bedakan  menjadi 3 varian:
1.       Hadist shahih adalah hadist yang bersambung sanadnya, yang di riwayatkan oleh orang-orang  yang adil dan dabit serta tidak terdapat ke janggalan di dalamnya
2.      Hadist hasan adalah hadist yang bersambung sanadnya, yang di riwayatkan oleh orang-orang yang adil dan kurang dabit serta tidak ada kejangggalan dan cacat

3.      Hadist dhaif menurut Imam Al-Baiquni adalah:Setiap hadis yang tingkatannya berada dibawah hadits hasan (tidak memenuhi syarat sebagai hadisshahih maupun hasan).[4]

E.       Kedudukan hadis mursal
Terdapat perbedaan pandangan antar ulama ushul fiqh dan ulama hadits mengenai pengertian hadis mursal, menurut ulama hadis , hadis mursal adalah hadis yang di dalamnya terdapat indikasi yang menunjukkan perawi tab’iy langsung meriwayatkan hadist dari Rasulullah, misalnya, seorang perawi tab’iy berkata, nabi telah bersabda: begini dan begitu. Manakala sesuatu di riwayatkan secara demikian, inilah yang di sebut hadis mursal menurut pandangan ulama hadis.
Para ulama hadis membedakan hadis mursal dengan hadis munqati’dan hadis mu’dal. Hadis mun qati’ adalah hadis yang di dalam sanadnya gugur satu orang perawi atau lebih tanpa berturut-turut. Sedangkan hadis mu’dal  adalah hadis yang di dalam sanadnya  gugur dua orang perawi  atau lebih pada satu lapisan sanad saja.
Adapun para ulama ushul fiqh memandang bahwa hadis mursal  mempunyai cakupan lebih luas  di banding yang di pahami oleh ulama hadis.

Mengenai posisi hadis mursal dalam dalam struktur sumber hukum islam, para ulama syafi’iyah berpendapat bahwa hadis mursal di bedakan menjadi dua macam yaitu:
a). mursal sahabiy dapat di terima sebagai hujjah syar’iyah  secara mutlak,
b). mursal ghairu sahabiy dapat di terima sebagai hujjah syar’iyah bila mana memenuhi syarat.[5]

F.       Posisi sunnah dan Relasinya dengan Al-quran
Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi sunnah dalam struktur sumber hukum Islam seperti berikut:

a)    Golongan ulama Hanafiyyah,ulama Malikiyyah,dan ulama Zahiriyyah
Berpendapat bahwa sunnah yang memepunyai kedudukan yang sederajat dan setara dengan Al-quran; sehingga apabila terjadi pertentangan maknawi yang di eksplisit antara suatu subbah dan suatu ayat Al-quran maka yang terahir munculnya diantara keduanya dia anggap menasakh yang terdahulu munculnya
b)      Golongan  ulama Syafi’iyyah
Berpendapat  bahwa dalam struktur sumber hukum Islam, posisi sunnah setingkat di bawah Al-quran; sehingga sunnah tidak mampu menasak Al-quran, dan apabila muncul pertentangan makanawi yang ekspilit antara  sunnah dan dan ayat Al-quran, yang tidak bias di kompromikan maknanya maka hakikatnya tentang hal ini.[6]

G.      Dilalah hadis
Ditinjau dari segipentunjuknya (dilalah), hadis sama dengan al-qur’an, yaitu bisa qath’iah dilalah dan bisa zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang qat’i dan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati  bagian tersebut, namun dalam aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbath as-sunnah terhadap al-quran, para Ulama sepakat bahwa as-sunnah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam al-quran dan juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan as-sunah terhadap al-quran. apabila as-sunnah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat al-quran.[7]
H.      Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Quran
Sunnah merupakan sumber-sumber kedua setelah al-quran.Karena sunnah merupakan penjelas dari al-quran, maka yang di jelaskan berkedudukan lebih

tinggi daripada yang menjelaskan. Namun demikian, kedudukan sunnah terhadap al-quran sekurang kurangnya ada tiga hal berikut:
1.      Sunnah sebagai ta’kid (penguat) Al-quran.
        Hukum islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu al –quran dan sunah. Tidak heran kalau banyak sekali sunnah yg menerangkan tentang kewajiban shalat,zakat,puasa,larangan musyrik,dan lain-lain.
2.      Sunnah sebagai penjelas al –quran
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka supaya mereka terfikir. (QS. An- nahl : 44)
Maka jelaslah bahwa sunnah berperan penting dalam menjelaskan maksud-maksud yang terkandung dalam al-quran, sehingga dapat mengilangkan kekeliruan dalam memahami al-quran.
3.      Sebagai musyar’i (pembuat syari’at)
     Sunah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syariat dari yang tidak ada dalam al-quran, misalnya di wajibkannya zakat fitrah, disunnahkan aqiqah dan lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
1.      sunah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam al-quran.
2.       sunah tidak membuat hal-hal baru yang tidak ada dalam al-quran, tetapi hanya membuat hal-hal yang ada dalam landasan al-quran.[8]

I.         KehujjahanHadis
   Semua ulama menyepakati kehujjahan hadis muttawatir, namun mereka berbeda pendapat dalam menghukumi hadis ahad, yaitu hadis yang di

wirayatkan dari rasulluallah saw. Oleh seseorang dua orang atau jamaah namun tidak tercapai derajat mutawatir.
1.      Kehujjahan hadis ahad     
      Para ulama telah sepakat tentang kejujjahan hadis ahad jika benar dan yakin berasal dari rasulluallah saw. Dan telah di sepakati oleh para sahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya.
      Pernyataan di atas telah di sepakati oleh para ulama daari semua golongan, kecuali golongan mu’tazilah. Pendapat kaum mu’tazilah tersebut bisa di pandang sebagai pendapat yang keliru, karena mereka telah mengingkari sebagai ketetapan yang berkembang dan sesuai dengan al-quran.
      Alasan golongan yang tidak menerima hadis ahad karena menurut mereka,  para sahabat juga tidak menerimanya. Seperti hadis yang di wirayatkan oleh Malik bin sihab dari Qubidah bin dzu’eb, bahwa seorang nenek mendatangi Abu bakar dan berkata, “dan sesungguhnya aku mempunyai hak atas harta putra dan putri anakku yang telah meninggal” dan telah diamalkan dalam sunah rosul ? kembalilah, semua orang yang lainnya pun meminta” . Maka orang lainnyapun meminta. Kemudian mugirah bin syukbaah berkata,” sesungguhnya rasulullah telah memberinya seperenam.” Abu bakar berkata.” Apakah engkau memiliki saksi yang lain? Ya muhamammad bin musallamah Al-Anshary membenarkannya maka Abu bakar pun memberikan kepada nenek tersebut seperenam.”
      Menurut mereka hadis tersebut menunjukkan bahwa abu bakar tidak menerima hadis ahad, yakni dari mugirah bin syukbah, kecuali setelah mengeceknya kepada muhammad bin mussallammah
      Sebagai jawaban terhadap argumen di atas, pada kenyataanya para ulama menggunkan hadis ahad dalam menetapkaan berbagai hukum dan fatwa, dan membatalkan sebagi macam hukum apabila bertentangan dengan hadis ahad. Seandainya ada di antara mereka yang tidak mengamalkan sebagian hadis ahad, mereka tidak bisa meng kelaim

secara keseluruhan.  Selain itu, penyebab mereka tidak mengamalkan hadis ahad semata mata ke hati hatian mereka saja supaya tidak menyalahi al-quran dan sunah. Sebagai contoh, abu bakar tidak ragu lagi untuk melaksanakan hadis yang dibawa oleh mugirah setelah di perkuat oleh muhammad bin musallamah.[9]
J.        Unsur-Unsur hadis
Sebagai gambaran umum hadis itu mempunyai tiga unsur pokok, yaitu sanad, matan, dan rawi. Pemaparan unsur-unsur pokok hadis secara luas dapat di baca dalam kitab-kitab ilmu hadis, namun sebagai pengantar sederhana, mari kita perhatikan contoh hadis di bawah ini.
عن عاءشة رضي الله عنها قا لت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من احدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهورد (رواه البخاري ومسلم)
Keterangan:
1.    aisyah itu di sebut sanad
2.    mulai man ahdzatsa sampai fahuaraddun di sebut matan
3.     bukhori dan muslim di sebut rawi[10]

K.      Hadis Masyhur
     Hadis masyhur mustafidz adalah hadis yang diriwayatkan dari nabi muhammad saw. Oleh para sahabat atau sekelompok orang banyak yang tidak sampai  pada batas mutawatir, kemudian diriwayatkan pada masa tabi’in oleh sejumlah orang yang sampai pada batas mutawatir.
     Contohnya adalah seperti hadis yang diriwayatkan oleh umar bin khathab dari rasululullah SAW.:
انما الاعمال بالنيات
Artinya:” sesungguhnya segala amal itu (pahalanya) bergantung kepada niatnya”

     Perbedaan antara hadis mutawatir dengan hadis masyhur adalah bahwa hadis mutawatir diriwayatkan dengan cara mutawatir pada tiga masa, sedangkan hadis masyhur tidak diriwayatkan secara mutawatir kecuali pada masa tabi’in dan tabi’it tabi’in
     Hadis masyhur tidak memfaedahkan qath’i dan adanya keyakinan bahwa riwayat itu datang dari rasulullah SAW. Hanya memfaedahkan tuma’ninah (menentramkan hati ) dan zhan (persangkaan kuat). Maka martabatnya pun turun lebih rendah sedikit dari pda martabat hadis mutawatir. Hadis masyhur tidak memfaedahkan qath’i sebagaimana hadis mutawatir karena tidak adanya  sifat mutawatir pada orang yang mendengar dari rasulullah SAW. Selain itu hadis masyur tidak memfaedahkan zhan karena sudah positif diriwayatkan  dari sahabatnya, yang merupakan orang-orang kepercayaan dalam meriwayatkan sesuatu dari rasulullaah SAW. Maka hadis masyhur menempati hukum hadis mutawatir dalam hal wajib mengamalkan. Tetapi al-jasas, ulama fiqih dari golongan hanafiyah menjadikan hadis masyhur masuk ke dalam  hadis mutawatir.[11]

L.       Perbedaan sunnah dan hadis
Sebagian besar  kalangan berpandangan bahwa sunnah dan hadis merupakan dua hal yang identik. Keduanya adalah sinonim sehingga sering digunakan secara bergantian untuk menyebut segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Akan tetapi, kalau ditinjau secara cermat dan mendalam dari beberapa literatur menunjukkan bahwa keduanya merupakan hal yang berbeda.
Kata hadis berasal dari huruf ha, dal, dan sin yang berarti adanya sesuatu setelah tidak adanya, atau jadid (yang baru) dari qadim (yang lama). Selain itu, hadis juga berarti khabar (berita) atau kalam (pembicaraan) baik verbal maupun lewat tulisan. Pembicaraan sebagai arti hadis ini telah dikenal oleh masyarakat Arab zaman jahiliah, yakni ketika mereka. mengatakan hari-hari mereka yang terkenal dengan sebutan ahadis (buah pembicaraan).

F.A. Klein, sebagaimana dikutip oleh mushadi ham, membedakan bahwa sunnah secara tepat menunjuk kepada model perilaku, praktik, ucapan, dan ketetapan nabi, sedangkan hadis menunjuk kepada cerita, laporan atau rekaman tentang hal yang sama. Dalam kaitan ini juga, hasbi menyatakan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang diceritakan kepada rasulullah, sedangkan sunnah adalah sesuatau yang telah biasa dilakukan oleh kaum muslim sejak dahulu baik ia diceritakan atau tidak. Syech mahmudunnasir menyatakan bahawa perbedaan arti awal antara sunnah dan hadis adalah bahwa sunnah meneruskan seluruh ruang lingkup tradisi yang terkenal, praktik yang telah mapan dan kebiasaan umat islam yang telah disepakati, sementara hadis adalah cerita tentang hukum-hukum yang tetap dan pasti yang diucapkan oleh Nabi SAW.
Perbedaan lain adalah hadis merupakan amr ‘ilmiy nawadhir (sesuatu yang bersifat teoretis), sedangkan sunnah adalah’amr ‘amaliy (sesuatu yang bersifat praktis), atau hadis sebagai tradisi verbal sedangkan sunnah sebagai tradisi praktikal. Secara lebih lengkap goldziher menyatakan,”...hadis sebagaimana telah ditunjukkan telah mempunyai arti suatu komunkasi lisan yang berasal dari Nabi SAW., sedangkan sunnah adalah istilah yang digunakan masyarakat muslim awal untuk menunjuk pada praktik-praktik keagamaan atau ketentuan hukum, tanpa memandang apakah hal itu terdapat atau tidak dalam tradisi lisan...
Berdasarkan paparan dari beberapa ahli diatas dapat ditarik satu garis kesimpulan mengenai perbedaan antara hadis dengan sunnah. Sunnah adalah tradisi yang bersumber dari Nabi SAW., sedangkan hadis adalah berita, laporan, cerita tentang tradisi yang dilakukan oleh Nabi SAW.[12]

M.     Pebuatan Nabi (أفعال النبي)
Perbuatan nabi dapat beraneka ragam bentuknya. Hal ini dapat di lihat dari kedudukan nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan allah. Perbuatan nabi di bagi menjadi  3 macam yaitu :

Pertama, perbuatan nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah di kerjakan oleh manusia pada umumnya seperti, cara makan dan minum, berobat, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk di ikuti. Tetapi sebagian ulama yang lain, mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan nabi seperti itu tidak berdampak hukum dengan demikian tidak harus di ikuti.
Kedua, perbuatan nabi yang hanya wajib di lakukan oleh nabi tetapi tidak wajib bagi  umatnya seperti nabi wajib shalat dhuha, tahajjud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah wajib.
Ketiga, perbuatan nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-quran seperti tentnag tata cara sholat,puasa, haji, jual beli, dan utang piutang, maka semua perbuatan itu berdampak kepada pebuatan hukum bukan hanya bagi nabi tetapi juga bagi umatnya.[13]

N.      Munkirus Sunnah
Pada zaman nabi (w. 632 M), umat islam sepakat bahwa Sunnah merupakah salah satu sumber ajaran islam di samping al quran. Tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman nabi ada dari kalangan umat islam yang menolak Sunnah sebagaai salah satu sumber ajaran islam. Bahkan pada masa al- khulafa’ al- rasyidin (632-661 M) dan bani umayyah (661-750 M), belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Barulah pada awal masa abbasiyah (750-1258 M), muncul  secara jelassekelompok kecil umat islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran islam. Mereka itu kemudian di kenal sebagai orang-orang berpaham inkar al-sunnah.
Sesudah zaman al-syafi’I sampai saat ini, baik secara terselubung maupun secara terang-terangan, mereka yang berpaham inkar al-sunnah,baik yang mereka ingkari itu seluruh Sunnah maupun sebagian saja, muncul di berbagai tempat, misalnya di mesir, (antara lain doktor Taufiq Sidqy; w. 1920); di

malaysia (Kassim Ahmad, mantan Ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia); dan di Indonesia  (antara lain Muhammad Irham Sutanto).
Cukup banyak argumen yang telah di kemukakan oleh mereka yang berpaham inkar al sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman as-syafi’i maupun yang hidup pada zaman sesudahnya. Dari beberapa argument yang banyak itu, ada yang berupa argument-argumen naqli dan ada yang berupa argument non-naqli.
1.         Argument Naqli
Cukup banyak argumen naqli yang mereka ajukan namun yang terpenting ialah sebagai berikut:
a.       Al-quran surat An-Nahl : 89 berbunyi:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
Artinya: “Dan kami turunkan kepadamu al-kitab (al-quran) untuk menjelaskan sesuatu
b.      Al-quran surat Al-An’am: 38 berbunyi:
مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ۚ
Artinya: “Tiadalah kami alpakan sessuatu pun di dalam al-kitab
Menurut para pengingkar Sunnah, kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa al-quran telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama. Dengan demikian, tidak di perlukan adanya keterangan lain, misalnya dari Sunnah. Menurut mereka, salat lima waktu sehari-semalam yang wajib di dirikan dan yang sehubungan dengannya, dasarnya bukanlah Sunnah atau hadis, melainkan ayat-ayat Al-quran, misalnya S. Al-Baqarah: 238, Hud: 114, Al-Isra’: 78 dan 110, Taha: 130, Al-Hajj:77, Al-Nur:58, Al-Rum: 17-18. Dengan demikian menurut para pengingkar Sunnah, tata cara sholat tidaklah penting, jumlah rakaat, cara duduk, cara sujud, ayat dan bacaan yang di baca di serahkan kepada masing-masing pelaku sholat. Jadi ibadah sholat boleh saja di lakukan dengan menggunakan bahsa daerah masing-masing.
Dari argument yang di kemukakan di atas dapat di pahami bahwa para pengingkar Sunnah yang ,engajukan argument itu adalah orang-orang yan

berpendapat bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan Al-quran kepada umatnya. Nabi Muhammad hanyalah bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya. Di luar hal itu , Nabi Muhammad tidak memiliki wewenang.
2.      Argumen Non-Naqli
Argumen non-naqli  yang di ajukan oleh para pengingkar Sunnah, diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
a.         Al-quran di wahyukan oleh Allah kepada nabi Muhammad (melalui malaikat jibril) dalam Bahasa arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan Bahasa arab mampu memahami al-quran secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadis nabi. Dengan demikian hadis nabi tidak di perlukan untuk memahami petunjuk al-quran.
b.         Dalam sejarah, umat islam mengalami kemunduran. Umat islam mundur karena umat islam terpecah-pecah. Perpecahan itu terjadi karena umat islam berpegang kepada hadis nabi. Jadi menurut para pengingkar Sunnah, hadis nabi merupakan sumbr kemunduran umat islam; agar umat islam maju, maka umat islam harus meninggalkan hadis nabi.
c.         Menurut doktor Taufiq shidqi, tiada satu pun hadis nabi  yang di catat pada zaman nabi. Pencatatan hadis terjadi setelah nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi.[14]

O.      Alasan Sunnah di jadikan sebagai Sumber Hukum
     Alasan sunnah di jadikan sebagai sumber hukum salah satunya dapat di lihat dari segi kewajiban umat islam mematuhi dan meneledani Rasulullah saw.Melalui al-quran, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menempatkan kepatuhan kepadanya sama dengan kepatuhan kepada rasulnya. Allah SAW berfirman dalam surah an-nisa’(4): 80
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا

Artinya: “barang siapa yang menaati rasulullah, susungguhnya ia telah menaati allah dan barang siapa yang berpaling (dari keadaan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.
Demikian juga dalam surah an-nisa’ (4): 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: hai orang-orang yang beriman, taatilah allah dan taatilah rasulullah, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada allah (al-quran) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
     Di samping itu, selain Allah SWT memuji akhlak Rasulullah saw. Sebagaimana terdapat dalam surah al-Qalam (68): 4:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
     Allah juga memerintahkan umat islam untuk meneladani Rasulullah, sebagai syarat untuk mendapatkan surga pada hari kiamat kelak, sebagaimana terdapat dalam surat al-ahzab (33): 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Artinya: “sesungguhnya telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) allah dari (kedatangan) hari kimat dan dia banyak menyebut allah saw”.
     Berdasarkan kutipan ayat-ayat di atas, menjadi sangat jelaskepatuhan kepada Allah SWT tidak dapat di pisahkan dari kepatuhan kepada Rasulullah

saw. Dalam pada itu, tentu saja mematuhi dan meneladani Rasulullah saw berarti pula mengikuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan beliau. Bahkan al-quran menegaskan, keimanan seseorang tergantung pada kepatuhan seseorang kepada keputusan-keputusan hukum yang di tetapkan rasulullah saw.[15]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadis adalah apa-apa yang berasal dari Rasulullah baik perkataan atau pun taqrirnya. Hadis merupakan sumber hokum islam yang kedua setelah alquran karena hadis dapat menguatkan suatu hukum yang tersebut dalam al-quran sehingga hukum itu ada dua yaitu ayat yang menetapkan dan sunah yang menguatkan, menjelaskan al-quran dan dapat menetapkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al-quran.
Sunah ada 3 yaitu: a. Sunnah qauliyah  b.) Sunnah fi’liyah c.)Sunnah taqririyah

DAFTAR PUSTAKA

Suyatno. DASAR-DASAR ILMU FIQIH DAN USHUL FIQH. Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2011.
Asnawi. Perbandungan Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH, 2011.
Syafe’i Rachmat. ILMU USHUL FIQIH. Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2015.
Hakim, Atang Abd dan Jaih Mubarak. METOOLOGI STUDI ISLAM. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2015.
Shidiq, Sapiudin. USHUL FIQH. Jakarta: KENCANA, 2017.
Uman, Chairul, dkk. USHUL FIQH. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 1998.
SYUHUDI ISMAIL, M.HADIS NABI MENURUT PEMBELA PENGINGKAR DAN PEMALSUNYA. Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1995.
Rahman Dahlan, Abd. USHUL FIQH. Jakarta: AMZAH, 2014.



[1]Syafe’i Rachmat, ILMU USHUL FIQIH,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2015), hlm. 60


[2]Suyatno,  DASAR-DASAR ILMU FIQIH DAN USHUL FIQH,(Jogjakarta: Ar-  Ruzz media, 2011), hlm. 98

[3]Asnawi,Perbandingan Ushul Fiqh,(Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 40

[4]Ibid hlm. 67
[5]Ibid hlm. 69
[6]Ibid hlm. 45
[7]Syafe’i Rachmat, ILMU USHUL FIQIH,(Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2015), hlm. 65


[8]Ibid hlm. 66
[9]Ibid hlm. 60
[10]Atang Abdul Hakim, Jaih Mubarak, METODOLOGI STUDI ISLAM, (Bandung: PT. REMAJA ROSDAKARYA, 2015), hlm. 94

[11]Chairul uman, dkk, USHUL FIQH, (Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 1998), hlm.68
[12]Suyatno, DASAR-DASAR ILMU FIQIH DAN USHUL FIQH, (Jogjakarta: Ar-Ruzz media, 2011), hlm. 96
[13]Sapiudin shidiq, USHUL FIQH, (Jakarta: KENCANA, 2017), hlm. 56
[14]M. SYUHUDI ISMAIL, HADIS NABI MENURUT PEMBELA PENGINGKAR DAN PEMALSUNYA, (Jakarta: GEMA INSANI PRESS, 1995), hlm.16
[15]Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, (Jakarta: AMZAH, 2014), hlm. 138

Tidak ada komentar:

Posting Komentar