ISTIHSAN
MAKALAH
Disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh
Yang
diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI
Oleh
Kelompok 5
Indriyani
(20170703022089)
Kavita
Sari (20170703022100)
Lifka
Ariyani Hartatik (20170703022112)
Masruhah(20170703022118)
Noer
Halimah (20170703022152)
PROGRAM
STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2018
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia
dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Istihsan”
tepat pada waktunya. Serta shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
Kami mengucapkan banyak terimakasih
kepada :
1. Bapak
Moch. Cholid Wardi, M.HI, selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh.
2. Teman-teman
yang telah memberi masukan dan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini bukanlah sebuah karya yang
sempurna, masih banyak kekurangan dalam hal isi maupun sistematika penulisan.
Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi semua pihak yang
membacanya.
Pamekasan, 18 Maret 2018
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR..................................................................................................
i
DAFTAR
ISI..............................................................................................................
ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................... ............1
A. Latar
Belakang..................................................................................... .......................1
B. Rumusan
Masalah................................................................................. ......................1
C. Tujuan................................................................................................... ......................2
BAB
II PEMBAHASAN................................................................................ ............3
A. Pengertian
Istihsan................................................................................ ......................3
B. Macam-macam
Istihsan........................................................................ ......................4
C. Dasar
Hukum Istihsan.......................................................................... .......................6
D. Kehujjahan
Istihsan.............................................................................. .......................7
E. Relevansi
Istihsan di Masa Kini dan Mendatang.......................................................
9
F. Contoh
Masalah dalam Lingkup Perbankan yang Sesuai dengan Istihsan 11
BAB
III PENUTUP.....................................................................................................
13
A. Kesimpulan........................................................................................... ......................13
B. Saran..................................................................................................... ......................13
DAFTAR
PUSTAKA...................................................................................... ............14
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Telah
diterangkan bahwa untuk menemukan dan
menetapkan hukum fiqh di luar apa yang
dijelaskan dalam nash Al-Quran dan hadis, para ahli mengerahkan
segenap kemampuan nalarnya yang disebut ijtihad.
Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode yang
mereka gunakan dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad hasil
rumusan mujtahid. Diantaranya ada metoe ijtihad yang merupakan ciri khas
(hasil temuan ) seorang mujtahid yang berbeda dari mujtahid yang lainnya.
Adanya perbedaan metode ijtihad ini berimplikasi pada munculnya
perbedaan antarahasil ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya.
Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk
pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Telah dijelaskan
bahwa metode ijtihad yang lazim dipakai dalam berijtihad adalah “qiyas”
yang dianggap sebagai metode ijtihadyang paling tinggi kualitasnya dan
digunakan hampir semua ulama fiqh. Bila hasil ijtihad melalui cara
tersebut disepakati oleh semua ulama, maka kesepakatan tersebut disebut ijma’.Ijma’
dan qiyas merupakan dua cara dalil hukum yang disepakati oleh ulama
islam.
Meskipun ada
beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode
itu disepakati penggunaannya oleh ulama, salah satunya metode istihsan.
Metode istihsan ini merupakan metode ijtihad hasil karya para
mujtahid, karena itu penulis menyebutnya dengan metode ijtihad bukan
dalil, sebab bagaimanapun, apa yang ditempuh ulama dalam hal ini menghasilkan
rumusan hukum yang diperoleh melalui pengerahan daya nalar.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan istihsan?
2.
Apa
saja macam-macam dari istihsan?
3.
Bagaimana
dasar hukum dari istihsan?
4.
Bagaimana
kehujjahan dari istihsan?
5.
Bagaimana
relevansi istihsan di masa kini dan mendatang?
6.
Seperti
apakah contoh masalah dalam lingkup perbankan yang sesuai dengan istihsan?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan istihsan.
2.
Untuk
mengetahui apa saja macam-macam dari istihsan.
3.
Untuk
mengetahui dasar hukum dari istihsan.
4.
Untuk
mengetahui kehujjahan dari istihsan.
5.
Untuk
mengetahui relevansi istihsan dimasa kini dan mendatang.
6.
Untuk
mengetahui contoh masalah dalam lingkup perbankan yang sesuai dengan istihsan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Istihsan
Secara etimologis istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu
yang lebih baik” atau “adanya sesuatu itu yang lebih baik” atau “mengikuti
sesuatu yang lebih baik” atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena
memang disuruh untuk itu”.[1]
Sedangkan menurut istilah
ulama Ushul, terjadi perbedaan rumusan sejalan dengan perbedaan aspek
pandangan dan generasi terhadap setiap aspeknya. Di bawah ini, dikemukakan
sebagian definisi istihsan yang mereka rumuskan
1.
Definisi
menurut golongan (Mazhab) Hanafiyah
Ada
beberapa tokoh dari golongan hanafiyah
yang mengemukakam pendapatnya mengenai istihsan :
a.
Al-
karkhi
هُوَاَنْ يَعْدِلَ الْاِنْسَانُ اَنْ يَحْكُمَ فِى مَسْئَلَةٍ
بِمِثْلٍ مَا حَكَمَ بِهِ لِنَظَائِرِهَا
Seorang
mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode
qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang
menuntut adanya pengalihan hukum dari hukum yang pertama.
b.
Al-Bazdawy
هُوَالْعَدُوْلَ عَنْ مَوْجِبِ قِيَاسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ
اَوْهُوَتَحْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلٍ اَقْوَى مِنْه
Berpindah dari
suatu hasil qiyas kepada qiyas yang lebih kuat, kemudian mentakhsiskan qiyas
dengan yang lebih kuat dari padanya.[2]
2.
Definisi
menurut golongan (Mazhab) Malikiyah
Sebagaimana
yang dikemukakan Al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah):
وَهُوَ فِى مَذْهَبُ مِالِكِ الْاَخْذُ بِمَصْلَحَةٍ جُزْءِيَةٍ فِى
مُقَابَلَةٍ دَلِيْلٍ كُلِّىٍ
Istihsan dalam
mazhab maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang yang bersifat juz’i sebagai
ganti dalil yang bersifat kulli.[3]
3.
Definisi
menurut golongan Hanabilah
a.
Ibnu
Quddamah dalam kitabnya Raudhatunnazhir mendefinisikan
مَا يَسْتَحْسِنُهُ الْمُجْتَهِدُ بِعَقْلِهِ
Apa
yang dipandang baik oleh mujtahid
menurut akalnya.
دَلِيْلٌ يَنْقَدِحُ فٍى نَفْسِ الْمُجْتَهِدِ لاَ يَقْدِرُعَلَى
الْتَعْبِيْرِعَنْهُ
Suatu dalil
yang muncul dalam pandangan mujtahid yang tak bisa diungkapkan dari padanya.[4]
B.
Macam-macam
Istihsan
Dari uraian diatas, terlihat bahwa istihsan itu banyak
macamnya dan dapat dilihat dari beberapa segi, baik dari segi dalil yang
ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran atau
dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1.
Ditinjau
dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan
dibagi menjadi beberapa macam, diantanya :
a.
Beralih
dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir (qiyas jali) kepada yang
dikehendaki oleh qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas
dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi,
karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat atau yang paling
tepat.
b.
Beralih
dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat
khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan
hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum tidak digunakan,
dan sebagai gantinya digunakannlah dalil khusus.
c.
Beralih
dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum
pengecualian.
2.
Ditinjau
dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untukmenempuh cara istihsan
oleh mujtahid istihsan dibagi dalam beberapa macam, diantaranya :
a.
Istihsan yang sandarannya qiyas khafi (istihsan bi al-Qiyas khafi).
Dalam hal ini seorang mujtahid
meninggalkan qiyas yang pertama karena ia menemukan bentuk qiyas
yang lain, meskipun qiyas yang lain itu memiliki kelemahan, namun dari
segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi.
b.
Istihsan yang sandarannya nash (istihsan bi an-Nash)
Seorang mujtahid dalam
menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas sebagai hukum karena ada nash
yang menuntunnya.
c.
Istihsan
yang sandarannya ‘urf atau
adat (istihsan bi al-‘Urf)
Seorang mujtahid
tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara
lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum
berlaku dalam suatu keadaan atau adat.
d.
Istihsan yang sandarannya darurat (istihsan bi al-Dharurah)
Seoarang mujtahid tidak
menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti, karena adanya keadaan darurat
yang menghendaki pengecualian.[5]
e.
Istihsan
yang sandarannya ijma’ (istihsan bi al-Ijma’)
Seorang mujtahid
meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada
ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa
yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid
bersikap diam.[6]
f.
Istihsan bersandarkan kemaslahatan (istihsan bi al-mashalah al-mursalah)
Seorang mujtahid mengecualikan
ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan
memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan.[7]
C.
Dasar
Hukum Istihsan
Faktor yang mendorong orang
yang membolehkan istihsan untuk mengkhususkannya dengan nama ini,
diantara seluruh dalil hukum, yang diingkari oleh Imam Al-Ghazali adalah
hadirnya nama tersebut dalam bahasa ini sesuatu yang sudah diketahui Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah SAW.
Dalam ayat Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
اَلَّذِيْنَ
يَسْتَمِمُوْنَ اَلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهُ
“Sampaikanlah berita itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik
diantaranya”. (QS. Az-Zumar 18)
Menurut mereka ayat ini menegaskan bahwa pujian Allah bagi
hamba-Nya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik dan pujian tentu
tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.
وَأْمُرْ
قَوْمَكَ يَأْخُدُوا بِأَحْسَنِهَا
“dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya)
dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-A’raf: 145)
Dalam ayat ini Allah
memerintahkan kita untuk mengikuti yang lebih baik, dan perintah menunjukkan
bahwa ia adalah wajib
Dalam sunnah
Rasulullah SAW bersabda
فَمَارَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
“Apa yang
dipandang baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik”.
Menurut mereka yang terpenting bukan dari sisi kata atau nama,
melainkan maknanya. Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa makna istihsan
menurut mereka yang mengusungnya, juga tidak diingkarinya oleh selain mereka, bahkan mereka juga
sebenarnya telah melakukannya di beberapa pendapat mereka.
Jadi, istihsan merupakan salah satu dalil atau dasar-dasar fikih,
ia berada di urutan setelah dalil-dalil sebelumnya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Istihsan ini banyak dimanfaatkan oleh para
ahli fikih untuk penetapan sebuah hukum.
Kita sering menjumpai ungkapan mereka “Sesuatu ini dibolehkan secara istihsan,
bukan secara qiyas.[8]
D.
Kehujjahan
Istihsan
Pendapat
ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan
1.
Kelompok
yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini
adalah mazhab Hanafi, Maliki, dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Para ulama yang
menggunakan istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan beberapa
argumen, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Menggunakan
istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai
dengan firman Allah pada surah Al-Baqarah (2):185
يُريْدُاللَّهَ بِكُمُ الْيُسْرَوَلاَيُرِيْدُبِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.
b.
Ucapan
bdullah bin Mas’ud
فَمَارَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
“Sesutau yang
dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah”.
c.
Firman
Allah pada surah Az-Zumar (39):55
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ أِلَيْكُم مِّنْرَّبِّكُم مِنْ
قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لاَتَشْعُرُونَ
Dan ikutilah
sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu tuhanmu dari sebelum datang azab
kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
2.
Kelompok
yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil syara’. Mereka ini
adalah asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Para ulama ini mengungkapkan
dalil beserta argumennya, antara lain sebagai berikut:
a.
Firman
Allah pada surah Al-Maidah (5): 49
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ تَتَّبِعْ
أَهْوَاءَهُمْ
“Dan hendaklah
kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”.
Ayat
diatas menunjukkan bahwa tidak boleh menetapkan hukum kecuali berdasarkan nash,
dan dilarang mengikuti hawa nafsu.
b.
Rasulullah
tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang dasarnya adalah
nalar mumi, melainkan menunggu turunnya wahyu, sebab beliau tidak pernah
berbicara berdasrkan hawa nafsu belaka.
c.
Istihsan itu landasannya adalah akal, dimana kedudukan orang yang
terpelajar dan tidak adalah sama. Jika menggunakan istihsan dibenarkan,
tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Dari argumen
yang digunakan kedua kelompok ulama diatas, dapat dikatakan, pada hakikatnya
perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang mendasar. Dengan
kata lain, pada kenyataannya peerbedaan pendapat diantara mereka hanya dari
segi penggunaan istilah (al-khulf lafzi). Sebab kritik yang disampaikan
oleh asy-Syafi’i terhadap istihsan adalah istihsan yang
semata-mata didasrkan kepada pertimbangan akal
tanpa didasarkan pada dalil syara’. Padahal sebagaimana terlihat pada urain
istihsan sebelumnya, semua bentuk istihsan menggunakan sandaran, baik
dalam bentuk nash Al-Qur’an atau sunnah atau ijma’.[9]
E.
Relevansi
Istihsan di Masa Kini dan Mendatang
Seperti telah dijelaskan bahwa istihsan itu dapat digunakan oleh
sekelempok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu
merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secra konvensional,
seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa
dilakukan. Dengan cara konvensional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang
(tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam
keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai
alternatif (pengganti) dari pendekatan yang konvensional tersebut. Pendekatan
yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut “istihsan”.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang
permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin kompleks.
Permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban
penyelesaiannya dari segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan
pendekatan dengan cara atau metode lama (konvensional) yang digunakan ulama
terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua
permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si mujtahid harus mampu
menemukan pendekatan atau dalil alternatif diluar pendekatan lama, meskipun
dengan berat hati untuk meninggalkan pendekatan lama yang selama ini ia gunakan
dan ia pertahankan dengan setia. Oleh
karena itu, kecendrungan untuk
menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan
persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat
berkembang dan semakin kompleks.
Diantara contoh yang paling dekat dan mendesak untuk ditangani dari
persoalan kehidupan dewasa ini adalah:
1.
Masalah
zakat. Dalil syara’ yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh yang ada
kebanyakan berbicara dalam kaitannya dengan sektor pertanian dan sedikit sekali
yang berkenaan dengan jasa dan produksi. Padahal dewasa ini perkembangan sektor
jasa dan produksi itulah yang berkembang dengan pesatnya dan lebih dominan
dibanding sektor pertanian yang semakin langka. Kalu dalam menghadapi kehidupan
ekonomi dewasa ini dan di masa mendatang, khususnya yang menyangkut masalah zakat hanya
mengandalkan pendekatan lama dalam merumuskan ketentuan hukumnya, maka tidak
akan memadai lagi. Dalam menghadapi masalah ekonomi, jika menggunakan ketentuan
lama tentang zakat, maka zakat tidak akan berkembang karena sektor pertanian
semakin langka, sedangkan pihak yang mengharapkan bantuan melalui penghimpunan
dana sosial melalui zakat semakin banyak. Katakanlah umpamanya “ zakat profesi”
yang sampai saat ini belum dirumuskan hukumnya secara tuntas di Indonesia.
Kalau masih berkutat dengan pendekatan dan dalil konvensional yang selama ini
digunakan, maslah tetap tidak akan terselesaikan. Karena itu diperlukan upaya
untuk mencari alternatif pendekatan lain utnuk menyelesaikannya. Umpamanya
berdalil dengan umumnya lafaz “ma kasabtum” yang terdapat dalam
surah al-baqarah (2): 264. Dalam
ayat tersebut sektor jasa dan profesi secara jelas terkandung didalamnya.
2.
Transplantasi
organ tubuh untuk kepentingan pengobatan, semestinya hal ini tidak perlu
dipermasalahkan lagi. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh
seseorang, termasuk jenasah, namun dalam dalil
yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya lebih baik untuk diikuti. Dalam hal ini pun
pendekatan istihsan rasanya lebih
tepat untuk dilaksanakan.
3.
Bunga
deposito bank. Para ulama tetap bersikukuh untuk mengharamkan bunga deposito di
bank meskipun mereka juga mengetahui bahwa dana tersebut digunakan untuk
investasi. Penolakan itu muncul karena mereka tetap bersikukuh untuk
menggunakan pendekatan konvesional, yaitu mengqiyaskan bunga bank kepada
riba yang secara mutlak diharamkan. Meskipun ulama tidak sepakat dalam
menghadapi hukum mudharabah, namun secara prinsip mereka dapat menerima.
Diantara langkah untuk mengahadapi maslah ini adalah upaya untuk mengqiyaskan
bunga deposito bank itu kepada mudharabah karena sama-sama menyerahkan
modal dan menerima bagian dari hasil yang diperoleh. Dalam ini pun tampaknya
perlu meninggalkan qiyas jali dan selanjutnya menggunakan qiyas
alternatif yang bernama istihsan.
Dari uraian
diatas, tampak dengan jelas bahwa permassalahan fiqh akan semakin banyak
bermunculan mengingat semain pesatnya perkembangan dan kemajuan kehidupan
manusia. Kita tentu tidak bisa berpangku tangan atau bersikap seenaknya dalam
men[10]cari
solusi hukmnya, karena sikap demikiam menyalahi prinsip umum dalam mengamalkan
hukum, meskipun agama tidak akan memberati manusia dalam beramal. Berbuat seenaknya
itu adalah yang disebut talazzus (seenaknya) atau tasyahhi
(sesenangnya) sebagaimana yang dikhawatirkan Imam al-Syafi’i dalam menggunakan
istihsan. Kekhawatiran Imam al-Syafi’i itu pada dasarnya merupaka kekhawatiran semua orang. Menggunakan istihsan
bukan berarti berbuat talazzus
sebagaimana yang dikemukakan para pengguna istihsan dari kalangan ulama
mazhab Maliki, asalkan betul-betul
mengikuti kaidah istihsan sebagaimana diuraikan diatas apalagi bila
dilakukan secara bersama-sama dalam suatu forum ilmiah.
F. Contoh Masalah dalam Lingkup Perbankan yang
Sesuai dengan Istihsan
Ada banyak sekali contoh meengenai permasalahan khususnya dalam
lingkup perbankan, contoh yang cukup sederhana antara lain tentang illat
larangan riba, dikatakan (dianggapnya) illat zhulm, padahal illatnya
bukan zhulm. Kesalahan menemukan illat riba, akan menimbulkan
kekeliruan berikutnya, misalnya menganggap suku bunga bank di Jepang yang
berkisar 2-3% setahun adalah tidak riba, karena ringan dan tidak zhulm,
dibanding margin murabahah di Indonesia yang mencapai 10-12% setahun. Di
sini dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi makro islami, seperti inflasi, teori
bubble dan krisis, hubungan riba dengan produksi, employment, dan sebagainya.
Pakar ekonomi islam dan hukum ekonomi islam harus bisa menemukan
illatnya secara tepat dan akurat. Pengetahuan tentang illat ini begitu
urgen, karena dengan mengetahui illat, maka ketentuan fiqih muamalahakan
selalu bermuatan maslahah dan maqashidsyariah sehingga syariah
akan selalu aktual, responsif dan relevan dengan perubahan-perubahan bisnis dan
tuntutan kemajuan zaman. Dalam ilmu ushul fiqh kajian tentang illat
dibahas denga sub bahasan masalikul illat, yang dimulai dari takhrijul
manath, kemudian tahqiqul manath.
Selanjutnya dalam kajian illat
dan maslahah, seorang ahli ushul fiqh harus bisa menentukan qiyas
jaly dan qiyas khafi dalam banyak kasus ekonomi keuangan, tanpa
pengetahuan tentang qiyas jali dan qiyas khafi, maka akan
mengakibatkan pandangan yang keliru dalam memahami suatu konsep fiqih
muamalah, seperti menggeneralisasi semua tawarruq dilarang. Padahal
harus dibedakan tawarruq munazzam pada umumnya dengan tawarruq
yang nyata-nyata sektor riil, untuk pembiayaan pertanian dan UMKM, maka penyaluran
juga pasti menganalisa risiko dan kalkulasi bisnis pertanian itu. Dengan
demikian pakar keuangan syariah, akademisi dan praktisi harus bisa memahami
konsep istihsan dengan baik, agar pemahamn keuangan syariahnya utuh dan
komprehensif. Jika metode istihsan digunakan secra kreatif, maka
bank-bank syariah akan melahirkan inovasi-inovasi produk yang canggih sehingga
bisa tumbuh dan berkembang dengan cepat bahkan bisa bersaing dengan
produk-produk bank konvensional.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologis istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu
yang lebih baik” atau “adanya sesuatu itu yang lebih baik” atau “mengikuti
sesuatu yang lebih baik” atau mencari yang lebih baik untuk diikuti,
karena memang disuruh untuk itu”. Sedangkan menurut terminologis, istihsan
adalah menggunakan kemaslahatan yang yang bersifat juz’i sebagai ganti
dalil yang bersifat kulli.
Macam-macam istihsan ditinjau dari segi dalil yang digunakan
pada saat beralih dari qiyas, istihsan dibagi menjadi beberapa
macam, pertama, beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir
(qiyas jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi. Kedua,
beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang
bersifat khusus. Ketiga, beralih dari tuntutan hukum kulli kepada
tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. Ditinjau hdari segi sandaran atau
yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh
mujtahid istihsan dibagi dalam beberapa macam, diantaranya: istihsan
bi al-qiyasi kahfi, istihsan bi al-‘urf, istihsan bi al-dharurah, istihsan bi
al-maslahah al-mursalah, istihsan bi an-nash, istihsan bi al-ijma’.
Dasar hukum istihsan terdapat pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah dan
surah Az-Zumar ayat 18 dan 55 serta dalam sebuah hadis Nabi SAW.
Tentang kehujjahan istihsanterdapat dua kelompok yang
memiliki perbedaan pendapat yakni ada yang pro mengenai istihsan dan ada
juga yang kontra terhadap istihsan.
B.Saran
Untuk lebih
memahami tentang metode ijtihad khususnya istihsan, tentunya tidak hanya tertumpu pada satu buku atau satu
literatur saja, Oleh karena itu semoga makalah ini menjadi pemacu untuk lebih
mendalami tentang ilmu Ushul Fiqhkhususnya dalam pembahasan metode ijtihad
khusunya mengenai istihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
Mufid, Mohammad, Ushul Fiqh dan Keuangan kontemporer,
Jakarta: Kencana, 2016
Rahman Dahlan, Abd, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2014
Abdullah,
Sulaiman, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Yusuf
Musa, Muhammad, Pengantar Studi Fikih Islam, Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2014
(https:/www.dakwatuna.com/2014/03/06/47280/urgensi-ushul-fiqih-dalam-ekonomi-dan-keuangan-syariah/amp/)
diakses pada tanggal 26 mei 2018 pukul 18.35
[1]H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008),
hlm.347
[2]H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2004), hlm.127
[3]H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008),
hlm.348
[4]H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2004), hlm.129
[5]H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008),
hlm.351-355
[6]Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer,
(Jakarta : Kencana, 2016), hlm.79
[7]H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2014),
hlm.202
[8]Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar,2014), hlm. 202-203
[9]H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2014), hlm.203-206
[10]Ibid, hlm.363-366
[11](https:/www.dakwatuna.com/2014/03/06/47280/urgensi-ushul-fiqih-dalam-ekonomi-dan-keuangan-syariah/amp/)
diakses pada tanggal 26 mei 2018 pukul 18.35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar