Senin, 28 Mei 2018

ISTIHSAN


ISTIHSAN
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul fiqh
Yang diampu oleh Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI
Oleh Kelompok 5
Indriyani (20170703022089)
Kavita Sari (20170703022100)
Lifka Ariyani Hartatik (20170703022112)
Masruhah(20170703022118)
Noer Halimah (20170703022152)


PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN 2018

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Istihsan” tepat pada waktunya. Serta shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya.
            Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1.      Bapak Moch. Cholid Wardi, M.HI, selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul Fiqh.
2.      Teman-teman yang telah memberi masukan dan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini.
     Makalah ini bukanlah sebuah karya yang sempurna, masih banyak kekurangan dalam hal isi maupun sistematika penulisan. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi semua pihak yang membacanya.







Pamekasan, 18 Maret 2018



Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI..............................................................................................................  ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... ............1
A.    Latar Belakang..................................................................................... .......................1
B.     Rumusan Masalah................................................................................. ......................1
C.     Tujuan................................................................................................... ......................2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ ............3
A.    Pengertian Istihsan................................................................................ ......................3
B.     Macam-macam Istihsan........................................................................ ......................4
C.     Dasar Hukum Istihsan.......................................................................... .......................6
D.    Kehujjahan Istihsan.............................................................................. .......................7
E.     Relevansi Istihsan di Masa Kini dan Mendatang....................................................... 9
F.      Contoh Masalah dalam Lingkup Perbankan yang Sesuai dengan Istihsan                 11
BAB III PENUTUP..................................................................................................... 13
A.    Kesimpulan........................................................................................... ......................13
B.     Saran..................................................................................................... ......................13
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... ............14







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Telah diterangkan  bahwa untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh di luar apa yang  dijelaskan dalam nash Al-Quran dan hadis, para ahli mengerahkan segenap kemampuan nalarnya yang  disebut ijtihad. Dalam berijtihad, para mujtahid itu merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Ada beberapa macam metode ijtihad hasil rumusan mujtahid. Diantaranya ada metoe ijtihad yang merupakan ciri khas (hasil temuan ) seorang mujtahid yang berbeda dari mujtahid yang lainnya. Adanya perbedaan metode ijtihad ini berimplikasi pada munculnya perbedaan antarahasil ijtihad seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan bentuk pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad.
Telah dijelaskan bahwa metode ijtihad yang lazim dipakai dalam berijtihad adalah “qiyas” yang dianggap sebagai metode ijtihadyang paling tinggi kualitasnya dan digunakan hampir semua ulama fiqh. Bila hasil ijtihad melalui cara tersebut disepakati oleh semua ulama, maka kesepakatan tersebut disebut ijma’.Ijma’ dan qiyas merupakan dua cara dalil hukum yang disepakati oleh ulama islam.
Meskipun ada beberapa metode ijtihad dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunaannya oleh ulama, salah satunya metode istihsan. Metode istihsan ini merupakan metode ijtihad hasil karya para mujtahid, karena itu penulis menyebutnya dengan metode ijtihad bukan dalil, sebab bagaimanapun, apa yang ditempuh ulama dalam hal ini menghasilkan rumusan hukum yang diperoleh melalui pengerahan daya nalar.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan istihsan?
2.      Apa saja macam-macam dari istihsan?
3.      Bagaimana dasar hukum dari istihsan?
4.      Bagaimana kehujjahan dari istihsan?
5.      Bagaimana relevansi istihsan di masa kini dan mendatang?
6.      Seperti apakah contoh masalah dalam lingkup perbankan yang sesuai dengan istihsan?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan istihsan.
2.      Untuk mengetahui apa saja macam-macam dari istihsan.
3.      Untuk mengetahui dasar hukum dari istihsan.
4.      Untuk mengetahui kehujjahan dari istihsan.
5.      Untuk mengetahui relevansi istihsan dimasa kini dan mendatang.
6.      Untuk mengetahui contoh masalah dalam lingkup perbankan yang sesuai dengan istihsan.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Istihsan
Secara etimologis istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu yang lebih baik” atau “adanya sesuatu itu yang lebih baik” atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik” atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu”.[1]
Sedangkan menurut istilah  ulama Ushul, terjadi perbedaan rumusan sejalan dengan perbedaan aspek pandangan dan generasi terhadap setiap aspeknya. Di bawah ini, dikemukakan sebagian definisi istihsan yang mereka rumuskan
1.      Definisi menurut golongan (Mazhab) Hanafiyah
Ada beberapa  tokoh dari golongan hanafiyah yang mengemukakam pendapatnya mengenai istihsan :
a.       Al- karkhi
هُوَاَنْ يَعْدِلَ الْاِنْسَانُ اَنْ يَحْكُمَ فِى مَسْئَلَةٍ بِمِثْلٍ مَا حَكَمَ بِهِ لِنَظَائِرِهَا
Seorang mujtahid beralih dari hukum suatu masalah yang sama hukumnya berdasarkan metode qiyas, kepada hukum lain yang berbeda, karena ada faktor yang lebih kuat yang menuntut adanya pengalihan hukum dari hukum yang pertama.

b.      Al-Bazdawy
هُوَالْعَدُوْلَ عَنْ مَوْجِبِ قِيَاسٍ اِلَى قِيَاسٍ اَقْوَى مِنْهُ اَوْهُوَتَحْصِيْصُ قِيَاسٍ بِدَلِيْلٍ اَقْوَى مِنْه
Berpindah dari suatu hasil qiyas kepada qiyas yang lebih kuat, kemudian mentakhsiskan qiyas dengan yang lebih kuat dari padanya.[2]
2.      Definisi menurut golongan (Mazhab) Malikiyah
Sebagaimana yang dikemukakan Al-Syatibi (salah seorang pakar Malikiyah):
وَهُوَ فِى مَذْهَبُ مِالِكِ الْاَخْذُ بِمَصْلَحَةٍ جُزْءِيَةٍ فِى مُقَابَلَةٍ دَلِيْلٍ كُلِّىٍ
Istihsan dalam mazhab maliki adalah menggunakan kemaslahatan yang yang bersifat juz’i sebagai ganti dalil yang bersifat kulli.[3]

3.      Definisi menurut golongan Hanabilah
a.       Ibnu Quddamah dalam kitabnya Raudhatunnazhir mendefinisikan
مَا يَسْتَحْسِنُهُ الْمُجْتَهِدُ بِعَقْلِهِ
Apa yang dipandang  baik oleh mujtahid menurut akalnya.
دَلِيْلٌ يَنْقَدِحُ فٍى نَفْسِ الْمُجْتَهِدِ لاَ يَقْدِرُعَلَى الْتَعْبِيْرِعَنْهُ
Suatu dalil yang muncul dalam pandangan mujtahid yang tak bisa diungkapkan dari padanya.[4]

B.     Macam-macam Istihsan
Dari uraian diatas, terlihat bahwa istihsan itu banyak macamnya dan dapat dilihat dari beberapa segi, baik dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya maupun dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1.        Ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan dibagi menjadi beberapa macam, diantanya :
a.       Beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir (qiyas jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi. Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas dhahir dalam menetapkan hukumnya, tetapi menggunakan qiyas khafi, karena menurut perhitungannya cara itulah yang paling kuat atau yang paling tepat.
b.      Beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Jadi, meskipun ada dalil umum yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum suatu masalah, namun dalam keadaan tertentu dalil umum tidak digunakan, dan sebagai gantinya digunakannlah dalil khusus.
c.       Beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian.
2.      Ditinjau dari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untukmenempuh cara istihsan oleh mujtahid istihsan dibagi dalam beberapa macam, diantaranya :
a.       Istihsan yang sandarannya qiyas khafi (istihsan bi al-Qiyas khafi).
    Dalam hal ini seorang mujtahid meninggalkan qiyas yang pertama karena ia menemukan bentuk qiyas yang lain, meskipun qiyas yang lain itu memiliki kelemahan, namun dari segi pengaruhnya terhadap kemaslahatan lebih tinggi.
b.      Istihsan yang sandarannya nash (istihsan bi an-Nash)
   Seorang mujtahid dalam menetapkan hukum tidak jadi menggunakan qiyas sebagai hukum karena ada nash yang menuntunnya.
c.       Istihsan yang sandarannya ‘urf atau adat (istihsan bi al-‘Urf)
   Seorang mujtahid tidak menggunakan cara-cara biasa yang bersifat umum tetapi menggunakan cara lain dengan dasar pertimbangan atau sandaran kepada kebiasaan yang telah umum berlaku dalam suatu keadaan atau adat.
d.      Istihsan yang sandarannya darurat (istihsan bi al-Dharurah)
   Seoarang mujtahid tidak menggunakan dalil yang secara umum harus diikuti, karena adanya keadaan darurat yang menghendaki pengecualian.[5]
e.       Istihsan yang sandarannya ijma’ (istihsan bi al-Ijma’)
   Seorang mujtahid meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma’. Hal ini terjadi karena ada fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum yang ditetapkan, atau para mujtahid bersikap diam.[6]
f.       Istihsan bersandarkan kemaslahatan (istihsan bi al-mashalah al-mursalah)
   Seorang mujtahid mengecualikan ketentuan hukum yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prinsip kemaslahatan.[7]
C.    Dasar Hukum Istihsan
Faktor yang mendorong  orang yang membolehkan istihsan untuk mengkhususkannya dengan nama ini, diantara seluruh dalil hukum, yang diingkari oleh Imam Al-Ghazali adalah hadirnya nama tersebut dalam bahasa ini sesuatu yang sudah diketahui Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.
Dalam ayat Al-Qur’an Allah SWT berfirman :                    
اَلَّذِيْنَ يَسْتَمِمُوْنَ اَلْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهُ
Sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya”. (QS. Az-Zumar 18)

Menurut mereka ayat ini menegaskan bahwa pujian Allah bagi hamba-Nya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik dan pujian tentu tidak ditujukan  kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.
وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُدُوا بِأَحْسَنِهَا
            dan suruhlah kaummu berpegang kepada (perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya”. (QS. Al-A’raf: 145)

     Dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang lebih baik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib
       Dalam sunnah Rasulullah SAW bersabda
فَمَارَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
Apa yang dipandang baik oleh umat islam, maka di sisi Allah juga baik”.

Menurut mereka yang terpenting bukan dari sisi kata atau nama, melainkan maknanya. Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa makna istihsan menurut mereka yang mengusungnya, juga tidak diingkarinya  oleh selain mereka, bahkan mereka juga sebenarnya telah melakukannya di beberapa pendapat mereka.
Jadi, istihsan merupakan salah satu dalil atau dasar-dasar fikih, ia berada di urutan setelah dalil-dalil sebelumnya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Istihsan ini banyak dimanfaatkan oleh para ahli fikih untuk  penetapan sebuah hukum. Kita sering menjumpai ungkapan mereka “Sesuatu ini dibolehkan secara istihsan, bukan secara qiyas.[8]
D.    Kehujjahan Istihsan
Pendapat ulama terbagi dalam dua kelompok tentang kehujjahan istihsan
1.      Kelompok yang berpendapat bahwa istihsan merupakan dalil syara’. Mereka ini adalah mazhab Hanafi, Maliki, dan mazhab Imam Ahmad bin Hanbal. Para ulama yang menggunakan istihsan sebagai dalil syara’ mengemukakan beberapa argumen, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.       Menggunakan istihsan berarti mencari yang mudah dan meninggalkan yang sulit, sesuai dengan firman Allah pada surah Al-Baqarah (2):185
يُريْدُاللَّهَ بِكُمُ الْيُسْرَوَلاَيُرِيْدُبِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.

b.      Ucapan bdullah bin Mas’ud
فَمَارَاهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ
“Sesutau yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik oleh Allah”.

c.       Firman Allah pada surah Az-Zumar (39):55
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ أِلَيْكُم مِّنْرَّبِّكُم مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لاَتَشْعُرُونَ
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu tuhanmu dari sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.
2.      Kelompok yang menolak penggunaan istihsan sebagai dalil syara’. Mereka ini adalah asy-Syafi’i, Zahiriyyah, Mu’tazilah, dan Syi’ah. Para ulama ini mengungkapkan dalil beserta argumennya, antara lain sebagai berikut:
a.       Firman Allah pada surah Al-Maidah (5): 49
وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”.
Ayat diatas menunjukkan bahwa tidak boleh menetapkan hukum kecuali berdasarkan nash, dan dilarang mengikuti hawa nafsu.
b.      Rasulullah tidak pernah menetapkan hukum berdasarkan istihsan yang dasarnya adalah nalar mumi, melainkan menunggu turunnya wahyu, sebab beliau tidak pernah berbicara berdasrkan hawa nafsu belaka.
c.       Istihsan itu landasannya adalah akal, dimana kedudukan orang yang terpelajar dan tidak adalah sama. Jika menggunakan istihsan dibenarkan, tentu setiap orang boleh menetapkan hukum baru untuk kepentingan dirinya.
Dari argumen yang digunakan kedua kelompok ulama diatas, dapat dikatakan, pada hakikatnya perbedaan kedua kelompok tersebut tidak menyentuh hal-hal yang mendasar. Dengan kata lain, pada kenyataannya peerbedaan pendapat diantara mereka hanya dari segi penggunaan istilah (al-khulf lafzi). Sebab kritik yang disampaikan oleh asy-Syafi’i terhadap istihsan adalah istihsan yang semata-mata didasrkan kepada pertimbangan akal  tanpa didasarkan pada dalil syara’. Padahal sebagaimana terlihat pada urain istihsan sebelumnya, semua bentuk istihsan menggunakan sandaran, baik dalam bentuk nash Al-Qur’an atau sunnah atau ijma’.[9]

E.     Relevansi Istihsan di Masa Kini dan Mendatang
Seperti telah dijelaskan bahwa istihsan itu dapat digunakan oleh sekelempok ulama karena dalam menghadapi suatu kasus pada keadaan tertentu merasa kurang puas jika menggunakan pendekatan yang berlaku secra konvensional, seperti dengan menggunakan qiyas jali atau dalil umum menurut cara-cara biasa dilakukan. Dengan cara konvensional itu, ketentuan hukum yang dihasilkan kurang (tidak) mendatangkan kemaslahatan yang diharapkan dari penetapan hukum. Dalam keadaan demikian, si mujtahid menggunakan dalil atau pendekatan lain sebagai alternatif (pengganti) dari pendekatan yang konvensional tersebut. Pendekatan yang mereka lakukan adalah dalam bentuk ijtihad yang disebut “istihsan”.
Dewasa ini dan lebih-lebih lagi pada masa yang akan datang permasalahan kehidupan manusia akan semakin berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi hukum islam. Kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan cara atau metode lama (konvensional) yang digunakan ulama terdahulu untuk menghadapinya, mungkin tidak akan mampu menyelesaikan semua permasalahan tersebut dengan baik (tepat). Karena itu, si mujtahid harus mampu menemukan pendekatan atau dalil alternatif diluar pendekatan lama, meskipun dengan berat hati untuk meninggalkan pendekatan lama yang selama ini ia gunakan dan ia pertahankan  dengan setia. Oleh karena itu, kecendrungan  untuk menggunakan istihsan akan semakin kuat karena kuatnya dorongan dari tantangan persoalan hukum yang berkembang dalam kehidupan manusia yang semakin cepat berkembang dan semakin kompleks.
Diantara contoh yang paling dekat dan mendesak untuk ditangani dari persoalan kehidupan dewasa ini adalah:
1.      Masalah zakat. Dalil syara’ yang dikemukakan dalam kitab-kitab fiqh yang ada kebanyakan berbicara dalam kaitannya dengan sektor pertanian dan sedikit sekali yang berkenaan dengan jasa dan produksi. Padahal dewasa ini perkembangan sektor jasa dan produksi itulah yang berkembang dengan pesatnya dan lebih dominan dibanding sektor pertanian yang semakin langka. Kalu dalam menghadapi kehidupan ekonomi dewasa ini dan di masa mendatang, khususnya  yang menyangkut masalah zakat hanya mengandalkan pendekatan lama dalam merumuskan ketentuan hukumnya, maka tidak akan memadai lagi. Dalam menghadapi masalah ekonomi, jika menggunakan ketentuan lama tentang zakat, maka zakat tidak akan berkembang karena sektor pertanian semakin langka, sedangkan pihak yang mengharapkan bantuan melalui penghimpunan dana sosial melalui zakat semakin banyak. Katakanlah umpamanya “ zakat profesi” yang sampai saat ini belum dirumuskan hukumnya secara tuntas di Indonesia. Kalau masih berkutat dengan pendekatan dan dalil konvensional yang selama ini digunakan, maslah tetap tidak akan terselesaikan. Karena itu diperlukan upaya untuk mencari alternatif pendekatan lain utnuk menyelesaikannya. Umpamanya berdalil dengan umumnya lafaz “ma kasabtum” yang terdapat dalam surah  al-baqarah (2): 264. Dalam ayat tersebut sektor jasa dan profesi secara jelas terkandung didalamnya.
2.      Transplantasi organ tubuh untuk kepentingan pengobatan, semestinya hal ini tidak perlu dipermasalahkan lagi. Meskipun ada ketentuan umum yang melarang menyakiti tubuh seseorang, termasuk jenasah, namun dalam dalil  yang menyuruh manusia untuk berobat rasanya lebih  baik untuk diikuti. Dalam hal ini pun pendekatan istihsan  rasanya lebih tepat untuk dilaksanakan.
3.      Bunga deposito bank. Para ulama tetap bersikukuh untuk mengharamkan bunga deposito di bank meskipun mereka juga mengetahui bahwa dana tersebut digunakan untuk investasi. Penolakan itu muncul karena mereka tetap bersikukuh untuk menggunakan pendekatan konvesional, yaitu mengqiyaskan bunga bank kepada riba yang secara mutlak diharamkan. Meskipun ulama tidak sepakat dalam menghadapi hukum mudharabah, namun secara prinsip mereka dapat menerima. Diantara langkah untuk mengahadapi maslah ini adalah upaya untuk mengqiyaskan bunga deposito bank itu kepada mudharabah karena sama-sama menyerahkan modal dan menerima bagian dari hasil yang diperoleh. Dalam ini pun tampaknya perlu meninggalkan qiyas jali dan selanjutnya menggunakan qiyas alternatif yang bernama istihsan.
Dari uraian diatas, tampak dengan jelas bahwa permassalahan fiqh akan semakin banyak bermunculan mengingat semain pesatnya perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Kita tentu tidak bisa berpangku tangan atau bersikap seenaknya dalam men[10]cari solusi hukmnya, karena sikap demikiam menyalahi prinsip umum dalam mengamalkan hukum, meskipun agama tidak akan memberati manusia dalam beramal. Berbuat seenaknya itu adalah yang disebut talazzus (seenaknya) atau tasyahhi (sesenangnya) sebagaimana yang dikhawatirkan Imam al-Syafi’i dalam menggunakan istihsan. Kekhawatiran Imam al-Syafi’i itu pada dasarnya merupaka  kekhawatiran semua orang. Menggunakan istihsan bukan berarti  berbuat talazzus sebagaimana yang dikemukakan para pengguna istihsan dari kalangan ulama mazhab  Maliki, asalkan betul-betul mengikuti kaidah istihsan sebagaimana diuraikan diatas apalagi bila dilakukan secara bersama-sama dalam suatu forum ilmiah.
F.  Contoh Masalah dalam Lingkup Perbankan yang Sesuai dengan Istihsan
            Ada banyak sekali contoh meengenai permasalahan khususnya dalam lingkup perbankan, contoh yang cukup sederhana antara lain tentang illat larangan riba, dikatakan (dianggapnya) illat zhulm, padahal illatnya bukan zhulm. Kesalahan menemukan illat riba, akan menimbulkan kekeliruan berikutnya, misalnya menganggap suku bunga bank di Jepang yang berkisar 2-3% setahun adalah tidak riba, karena ringan dan tidak zhulm, dibanding margin murabahah di Indonesia yang mencapai 10-12% setahun. Di sini dibutuhkan teori-teori ilmu ekonomi makro islami, seperti inflasi, teori bubble dan krisis, hubungan riba dengan produksi, employment, dan sebagainya.
                    Pakar ekonomi islam   dan hukum ekonomi islam harus bisa menemukan illatnya secara tepat dan akurat. Pengetahuan tentang illat ini begitu urgen, karena dengan mengetahui illat, maka ketentuan fiqih muamalahakan selalu bermuatan maslahah dan maqashidsyariah sehingga syariah akan selalu aktual, responsif dan relevan dengan perubahan-perubahan bisnis dan tuntutan kemajuan zaman. Dalam ilmu ushul fiqh kajian tentang illat dibahas denga sub bahasan masalikul illat, yang dimulai dari takhrijul manath, kemudian tahqiqul manath.
                     Selanjutnya dalam kajian illat dan maslahah, seorang ahli ushul fiqh harus bisa menentukan qiyas jaly dan qiyas khafi dalam banyak kasus ekonomi keuangan, tanpa pengetahuan tentang qiyas jali dan qiyas khafi, maka akan mengakibatkan pandangan yang keliru dalam memahami suatu konsep fiqih muamalah, seperti menggeneralisasi semua tawarruq dilarang. Padahal harus dibedakan tawarruq munazzam pada umumnya dengan tawarruq yang nyata-nyata sektor riil, untuk pembiayaan pertanian dan UMKM, maka penyaluran juga pasti menganalisa risiko dan kalkulasi bisnis pertanian itu. Dengan demikian pakar keuangan syariah, akademisi dan praktisi harus bisa memahami konsep istihsan dengan baik, agar pemahamn keuangan syariahnya utuh dan komprehensif. Jika metode istihsan digunakan secra kreatif, maka bank-bank syariah akan melahirkan inovasi-inovasi produk yang canggih sehingga bisa tumbuh dan berkembang dengan cepat bahkan bisa bersaing dengan produk-produk bank konvensional.[11]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara etimologis istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu yang lebih baik” atau “adanya sesuatu itu yang lebih baik” atau “mengikuti sesuatu yang lebih baik” atau mencari yang lebih baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu”. Sedangkan menurut terminologis, istihsan adalah menggunakan kemaslahatan yang yang bersifat juz’i sebagai ganti dalil yang bersifat kulli.
Macam-macam istihsan ditinjau dari segi dalil yang digunakan pada saat beralih dari qiyas, istihsan dibagi menjadi beberapa macam, pertama, beralih dari apa yang dituntut oleh qiyas dhahir (qiyas jali) kepada yang dikehendaki oleh qiyas khafi. Kedua, beralih dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hukum yang bersifat khusus. Ketiga, beralih dari tuntutan hukum kulli kepada tuntutan yang dikehendaki hukum pengecualian. Ditinjau hdari segi sandaran atau yang menjadi dasar dalam peralihan untuk menempuh cara istihsan oleh mujtahid istihsan dibagi dalam beberapa macam, diantaranya: istihsan bi al-qiyasi kahfi, istihsan bi al-‘urf, istihsan bi al-dharurah, istihsan bi al-maslahah al-mursalah, istihsan bi an-nash, istihsan bi al-ijma’.
Dasar hukum istihsan terdapat pada Al-Qur’an surah Al-Baqarah dan surah Az-Zumar ayat 18 dan 55 serta dalam sebuah hadis Nabi SAW.
Tentang kehujjahan istihsanterdapat dua kelompok yang memiliki perbedaan pendapat yakni ada yang pro mengenai istihsan dan ada juga yang kontra terhadap istihsan.
B.Saran
Untuk lebih memahami tentang metode ijtihad khususnya istihsan, tentunya  tidak hanya tertumpu pada satu buku atau satu literatur saja, Oleh karena itu semoga makalah ini menjadi pemacu untuk lebih mendalami tentang ilmu Ushul Fiqhkhususnya dalam pembahasan metode ijtihad khusunya mengenai istihsan.
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
Mufid, Mohammad, Ushul Fiqh dan Keuangan kontemporer, Jakarta: Kencana, 2016
Rahman Dahlan, Abd, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2014
Abdullah, Sulaiman, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004
Yusuf Musa, Muhammad, Pengantar Studi Fikih Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014
(https:/www.dakwatuna.com/2014/03/06/47280/urgensi-ushul-fiqih-dalam-ekonomi-dan-keuangan-syariah/amp/) diakses pada tanggal 26 mei 2018 pukul 18.35







[1]H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.347
[2]H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm.127
[3]H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.348
[4]H. Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm.129

[5]H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm.351-355
[6]Mohammad Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer, (Jakarta : Kencana, 2016), hlm.79
[7]H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2014), hlm.202
[8]Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,2014), hlm. 202-203
[9]H. Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah, 2014), hlm.203-206
[10]Ibid, hlm.363-366
[11](https:/www.dakwatuna.com/2014/03/06/47280/urgensi-ushul-fiqih-dalam-ekonomi-dan-keuangan-syariah/amp/) diakses pada tanggal 26 mei 2018 pukul 18.35